Skip to main content

Menghitung Sisa Usia Kira-Kira

Tiba-tiba saja aku sudah setua ini: 28 tahun, seorang freelancer yang merindukan anak. Padahal, rasanya baru kemarin aku melepas seragam putih abu-abu--berlagak siap menghadapi kehidupan yang sesungguhnya. Dan kemarin itu adalah 10 tahun lalu. 

Dalam waktu 10 tahun, peristiwa-peristiwa penting terjadi. Aku lulus sebagai sarjana, menikah, kehilangan simbah, paklik, budhe, dan seorang sahabat. Kehilangan itu tak pernah kubayangkan sebelumnya. Karena 10 tahun yang lalu, mereka masih sehat bugar, seakan-akan bakalan mampu menemani hari-hariku sampai sekarang. Tapi ternyata Tuhan lebih sayang sama mereka. Biarlah.

Hanya dalam waktu 10 tahun, kehidupan ini memang bisa berubah drastis. Namun dalam sepuluh tahun itu pula, sedikit sekali yang sudah kukerjakan. Mimpi-mimpi mangkrak di folder antah barantah. Pekerjaan berhenti di posisi; butuh makan lalu segera kebut deadline. Pertanyaannya kemudian, apakah kehidupanku akan begini-begini saja?

Aku berpikir, jika batas maksimal usia manusia zaman sekarang hanya 90 tahun, artinya aku akan hidup 62 tahun lagi. Itu pun kalau usiaku dimaksimalkan. Kita kan tidak pernah tahu berapa lama lagi sisa kehidupan ini? 

62 tahun itu adalah 6 kali lipat waktu 10 tahun yang kuhabiskan dengan banyak melamun. Padahal 10 tahun itu rasanya singkat sekali, bukan? Dalam waktu 10 tahun, aku tak sanggup membangun perusahaan, rumah, atau bisnis apapun. Jadi 62 tahun adalah kelipatan 6 dari waktu yang singkat itu. 

Mungkin aku masih punya waktu 62 tahun lagi. 6 kali lipat 10 tahunan. Tapi orangtua kita? Sisa mereka mungkin 30 tahun, 20 tahun, atau hanya 10 tahun lagi?

Ah, ketika membayangkan ini, aku merinding karena merasa belum melakukan apa-apa. Dan merasa kesempatan untuk berbuat apa-apa itu semakin sempit. Mungkin aku harus bergerak cepat. Karena tiba-tiba saja aku amat takut jika puluhan tahun kehidupan nanti hanya akan mengubah kulit kenceng jadi keriput, rambut hitam jadi keperakan. Itu aja?

Comments

Popular posts from this blog

Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan

Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani.  Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga.  Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee.  Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur.  Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat.  Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya

Garis Dua di Bulan April 2017

Empat tahun setengah, bukanlah waktu yang sebentar bagi kami yang kurang tabah ini menghadapi serangkaian pertanyaan tentang anak--mulai dari pertanyaan basa-basi, hingga sejumlah tuduhan menyakitkan yang kerap mampir membikin air mata tak tahan berderai-derai jatuh di sajadah.  Beruntungnya, suamiku tetap menggenggam tanganku erat, menguatkan di depan, meski aku tak tahu betul jika barangkali ia pun diam-diam memunggungiku untuk menahan tangis sendirian.  "Kita sudah berusaha, Dik, dengan sebaik-baiknya ..." bisiknya pelan, tiap kali aku mengadu.  Namun, saat hati terasa amat sakit mengingat tuduhan buruk yang bukan jadi kuasa kami, usai salat aku justru tak bisa berdoa. Aku menatap ke atas, diam, menangis pun tak sanggup. Lalu dengan pasrah, aku yang lemah hingga tak kuasa membungkam suara hati yang lepas begitu saja,  "Tuhan, tidakkah Kau melihat ini semua dari sana? Aku harus bagaimana?" Kan, yang tahu apa usaha kami hanya kami sendiri dan Tuhan

Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?

Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja.  Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT.  Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya.  Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toil