Skip to main content

Desa Wisata Pentingsari Tak Mau Dijajah Tamu


Sering tebersit dalam diri; sekolah tinggi-tinggi tapi tak kembali ke desa. Tak mampu sumbang apapun pada tanah kelahiran. Tanah yang lama tak disinggahi, sebab keinginan pulang, selalu memulangkan pertanyaan sama: apa telah saya beri untuk negeri ini, untuk desa kami? (Biar seperti Pentingsari)~Tikah Kumala



Setiap hari bekerja di hadapan laptop membuat saya happy banget ketika mendapat undangan jalan-jalan dari Dinas Pariwisata Sleman. Apalagi tujuannya adalah ke desa wisata Pentingsari. Terbayang bukan? Pikiran yang panas dan mata yang butuh hijau-hijauan ini bakal disuguhi suasana desa yang adem, juga sejuk. Maka saya pun langsung bilang, yes, untuk berangkat. Padahal lokasi dari rumah saya cukup jauh loh, meskipun masih sama-sama di Jogja.

Sejauh ini dari rumah saya  

Desa wisata Pentingsari terletak di Kelurahan Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Mulai ditetapkan sebagai desa wisata pada tanggal 15 Mei 2008. Karena terletak di lereng Gunung Merapi, berwisata ke Pentingsari akan juga menikmati pesona Merapi sepanjang perjalanan.

Saking semangatnya menuju ke sana, saya berangkat pagi-pagi sekali sekitar pukul 7 pagi. Berkat bantuan Google Map dan juga memanfaatkan warga sekitar, sampailah saya di Desa Pentingsari--dengan tentu saja nyasar lebih dulu.

Acara jalan-jalan yang berlangsung tanggal 17 Desember 2016 ini diikuti sekitar 30-an blogger dan vlogger Jogja. Acaranya pun cukup panjang, mulai pukul 09.00 hingga baru kelar menjelang petang.

Ada sejumlah objek wisata di desa wisata Pentingsari yang bisa dieksplore. Contoh: Pancuran Suci Sendangsari, Ponteng, Batu Persembahan, Batu Dakon, Luweng, Kali Kuning, dan masih banyak lagi lainnya. Namun yang menjadi kelebihan dari desa ini ialah konsep yang dipakai dalam pemeliharaan, mulai dari keindahan alamnya, sistem kerja yang digunakan, dan sistem pemberdayaan masyarakat desa. Itulah yang membuat hampir setiap warganya mengambil peranan untuk mengembangkan desa mereka. Ada yang menjadi pemandu wisata, penyedia homestay, pengajar budaya, hingga pedagang cendera mata.

Misalnya saja seperti Bapak Rahman (67tahun), petani pensiunan BRI ini bangun Joglo Herbal di desa wisata Pentingsari bermula dari takut pergi ke dokter. Ia menggunakan rumahnya sebagai tempat memberikan edukasi pada pengunjung mengenai tanaman-tanaman obat herbal.
Pak Rahman sedang jelaskan obat herbal 

Selain diajak mempelajari tentang tanaman obat herbal, di Pentingsari juga kami diajari membuat keterampilan seperti wayang dan belalang, belajar bermain gamelan, sampai dengan menengok dapur pengolahan kopi.
Wayang suket hasil buatan saya, lucu kan? 

Menyangrai kopi 
Semakin jauh berkeliling desa wisata Pentingsari, semakin saya terkagum-kagum akan masyarakatnya, yang meskipun mengkomersialkan desa mereka tapi masih tetap dengan menjaga kearifan lokalnya. Hal ini sesuai yang dijelaskan Pak Doto Yogantoro, kepala desa wisata Pentingsari, yang mengatakan bahwa mereka tak mau dijajah tamu. Bagi mereka, hubungan tamu dan tuan rumah haruslah dilandasi rasa saling menghormati. Mereka akan menghormati tamu apabila tamu tersebut juga menghormati peraturan yang berlaku di sana. Itulah usaha mereka menjaga kearifan lokal di desa wisata Pentingsari.

Adapun peraturan yang berlaku di sana antara lain:
1. Menolak acara yang menggunakan sound system sebesar 3000 watt.
2. Mengingat mayoritas penduduk beragama Islam, maka sound system harus mati ketika masuk waktu ibadah.
3. Semua kegiatan maksimal berakhir jam 22.00 WIB.
4. Menolak menjadi tempat acara yang berkaitan dengan konser dangdut.
5. Tamu lawan jenis yang menginap bersama haruslah berstatus suami istri, kecuali beramai-ramai.
6. Reservasi tamu menginap harus melalui 1 pintu, yakni lewat pihak pengelola bukan langsung ke pemilik rumah. 




Setelah acara di desa wisata Pentingsari berakhir, kami masih berlanjut mengunjungi wisata Bhumi Merapi. Lokasinya masih berada di Kabupaten Sleman. Tidak jauh dari lokasi pertama.

Di Bhumi Merapi itu, kami diajak berkeliling ke peternakan kambing, kelinci, ular, musang, juga ke lokasi perkemahan yang berdekatan dengan pintu masuk Goa Penggolo.

Di Bhumi Merapi 

Tamannya bagus kan?

Menyusui kambing

Bagaimana? Tertarik berwisata di Sleman-Yogyakarta? Silakan bisa menghubungi kontak di bawah ini.

Desa Wisata Pentingsari: Bapak Doto Yogantoro di 0858 6866 3456
Bhumi Merapi: O83840810999

Comments

Popular posts from this blog

Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan

Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani.  Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga.  Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee.  Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur.  Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat.  Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya

Garis Dua di Bulan April 2017

Empat tahun setengah, bukanlah waktu yang sebentar bagi kami yang kurang tabah ini menghadapi serangkaian pertanyaan tentang anak--mulai dari pertanyaan basa-basi, hingga sejumlah tuduhan menyakitkan yang kerap mampir membikin air mata tak tahan berderai-derai jatuh di sajadah.  Beruntungnya, suamiku tetap menggenggam tanganku erat, menguatkan di depan, meski aku tak tahu betul jika barangkali ia pun diam-diam memunggungiku untuk menahan tangis sendirian.  "Kita sudah berusaha, Dik, dengan sebaik-baiknya ..." bisiknya pelan, tiap kali aku mengadu.  Namun, saat hati terasa amat sakit mengingat tuduhan buruk yang bukan jadi kuasa kami, usai salat aku justru tak bisa berdoa. Aku menatap ke atas, diam, menangis pun tak sanggup. Lalu dengan pasrah, aku yang lemah hingga tak kuasa membungkam suara hati yang lepas begitu saja,  "Tuhan, tidakkah Kau melihat ini semua dari sana? Aku harus bagaimana?" Kan, yang tahu apa usaha kami hanya kami sendiri dan Tuhan

Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?

Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja.  Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT.  Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya.  Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toil