Skip to main content

Penemuan Baru tentang 'Arsip Memori'

Suatu hari, pagi pagi sekali seorang teman menelepon saya. Ketika namanya muncul di layar handphone, saya yakin sekali ada hal penting yang akan ia kabarkan. Maka, buru-burulah saya tekan tombol 'yes' untuk menerima panggilannya. Namun ternyata hening. Ada jeda panjang yang membuat saya harus berkali-kali bilang 'halo', 'hei', 'halo', 'beb?'. Beberapa saat saya berpikir kalau sinyalnya sangat buruk, tapi ternyata tidak. Ketika isak tangis terdengar di ujung telepon, saya tahu ada sesuatu yang buruk. Paniklah saya. Ada apa? Kenapa dia menangis? (Segala macam pikiran buruk berkelindan). 

Mengetahui saya panik, barangkali ia merasa harus berbicara. 
"Kekasihku selingkuh Mbak... " katanya. Lalu gadis itu kembali menangis. Dengan terbata-bata ia menceritakan kronologis situasi yang sedang dihadapi. 

Ah, tiba-tiba saja saya ikut larut. Betapa saya merasa begitu jauh, yang seharusnya berada di sampingnya. Ia pasti butuh sandaran seperti ketika dulu saya membutuhkannya. 

Saat itu, saya bisa merasakan dadanya hancur lebur. Bagaimana tidak? Percaya dirinya pasti luluh lantah karena dikhianati oleh lelaki yang paling dipercayainya. Lelaki yang ia percayakan menjaga separuh rahasianya. Lelaki yang menatapnya penuh cinta ketika ia berada di bawah, lalu mereka bangkit bersama-sama. Saya pernah mengalami hal serupa dia. Mungkin itulah alasan kenapa ia datang kepada saya untuk meminta resep bagaimana mengobati rasa sakit. 

"Apa yang harus kulakukan, Mbak? Bertahan atau pergi?" Suaranya terdengar merajuk. 
"Kamu merasa lebih kuat mana untuk bertahan tapi harus bisa berdamai dengan rasa sakit. Atau pergi meninggalkan lelaki yang sangat kamu cintai?"

Saya tahu keduanya bukan pilihan yang mudah. Sudah banyak harapan yang dibangun. Sudah sejauh ini melangkah, tentu tidaklah mudah meninggalkannya sebagai kenangan. Tapi jika bertahan bersama, apakah ia kuat? 

Bertahan artinya ia harus mengalami kondisi hubungan yang tidak sehat. Ia harus membangun kepercayaan kembali (Ini sungguh tidak mudah, karena rasa curiga selalu mengikuti. Dan tentu saja, kecurigaan tersebut membuat pasangan kita tidak nyaman. Jika tidak ada kesadaran dari masing-masing personal, maka pertengkaran pun akan mudah pecah). Ya, jika bertahan, sanggupkah ia bertemu setiap waktu dengan orang yang paling membuatnya sakit, yang tak lain masih sebagai kekasihnya? (Ah, ini pun tidak mudah sebab ketika ingatan buruk itu muncul, kita bisa tiba-tiba marah, benci, merasa tidak percaya dia begitu tega, lalu berakhir mengungkit-ungkit masa lalu tanpa sebab yang baru. Akhirnya perang pun kembali pecah. Kenapa sih ingatan itu sering muncul? Alasannya adalah karena pelakunya ada di hadapan kita. Dia, kekasihmu sendiri.)

Banyak hal lain yang akan terus menyentil perasaan kita jika pilihannya adalah bertahan. "Dulu, ketika pacarku bercanda akan cari cewek lain, aku ketawa Beb. Tapi setelah dia selingkuh, dan masih bercanda mau cari cewek lain. Maka aku bisa sangat marah, karena menganggap itu sama sekali bukan lelucon." Saya terus bercerita tentang pengalaman dulu. Waktu itu, saya butuh waktu dua tahun untuk berdamai dengan luka akibat dikhianati. Pacar saya tidak pernah tahu, jika tahun-tahun berikutnya pun saya masih suka merasakan nyeri. Dia tidak perlu tahu, sebab yang terpenting adalah bagaimana hati saya berubah lebih baik tanpa mengusik kebersamaan kami. Namun itu pun tidak sesederhana kalimat-kalimat saya. Sebab, perasaan sakit yang berlebihan ternyata mampu membuat saya berpikir logis tentang dia. Saya hanya perlu mencintainya dengan sederhana. Tidak berlebihan. Dan, saya terus mengasah pedang dalam dada saya, untuk jaga-jaga jika kejadian serupa akan terulang. Bukankah ini tidak sehat?

Karena merasa apa yang saya alami selama ini begitu berat, maka saya mengatakan pada dia untuk melepaskan kekasihnya. "Kamu masih muda, cantik, dan pintar, Beb. Kupikir, jika kamu tidak ingin bersedih terlalu lama, jalannya adalah pergi. Tapi, kalau kamu kuat dengan hubungan tidak sehat, ya terserah kamu kalau mau bertahan." 

Setelah telepon dimatikan, kami masih berkomunikasi via email. Sampai suatu kesempatan, dia mendatangi rumah saya. Badannya sangat kurus. Dia memutuskan untuk bertahan, meski rasa percaya dirinya oleng. Ia selalu merasa tidak cantik sehingga pacarnya bisa serong. Ia berada di tahap krisis percaya diri. Kasihan sebenarnya. Ia bilang, pacarnya masih suka berhubungan dengan selingkuhannya dan ia hanya bisa menangis diam diam. Mendengar itu, jelas saja saya semakin mendukung dia untuk pergi. Untuk apa lelaki yang tidak bisa menghargai pengorbanannya? Lelaki busuk. Tapi, dia tetap bertahan sampai sekarang. Kami belum kembali bertukar cerita tentang bagaimana ia bisa bertahan. Satu yang pasti, dia tentulah perempuan yang lebih tegar dari seorang saya. 

Jauh setelah kejadian tersebut, tepatnya hari ini. Saya baru saja selesai membaca buku "Terapi Berpikir Positif" yang ditulis oleh Dr. Ibrahim Elfiky. Karena buku tersebutlah, saya jadi tahu alasan kenapa saya melarang teman saya bertahan, jika ia tidak benar kuat. 

Menurut Ibrahim, di otak kita terdapat yang namanya folder memori. Folder tersebut bertugas mengarsip setiap perasaan dalam hati kita. Misalnya perasaan sedih, senang, marah dan lain-lain. Begitu pula perasaan sedih ketika kita dikhianati. Folder pengkhinatan tersebut akan terus penuh jika kita buka dan tambahi. Wajar saja ketika kita menceritakan ulang tentang perselingkuhan itu, dada kita bisa kembali terbakar oleh rasa sakit. Kenapa begitu? Karena, ketika kita membuka cerita perselingkuhan yang telah terjadi, maka folder itu akan terbuka, dan mengeluarkan file-file pendukung yang isinya sama persis dengan perasaan kita waktu itu. Bahkan, pelaku yang menyakiti kita yaitu si pacar bisa dikatakan sebagai penghubung antara folder tersebut dengan perasaan kita saat ini. Makanya, folder pengkhianatan yang kita tanam dalam otak tidak akan benar-benar hancur selain melalui terapi profesional. (Tapi, ada juga sih yang bisa mengunci folder perasaan buruk tersebut tanpa terapis, syaratnya adalah dengan kesadaran yang penuh untuk menghapusnya)






Comments

Popular posts from this blog

Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan

Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani.  Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga.  Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee.  Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur.  Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat.  Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya

Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?

Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja.  Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT.  Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya.  Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toil

Duh, Gendang Telinga Saya Pecah ...

Seminggu yang lalu, telinga kiri saya terbentur keras sekali. Rasanya memang tidak terlalu sakit, tapi sekian detik dari kejadian itu, dunia berubah jadi sunyi. Begitu aneh. Sebab rasanya seperti sedang berada di kampung sepi pada dini hari. Tanpa ada suara, hingga dengungan telinga jadi terdengar amat jelas. (Saya lantas ingat, kok pendengaran ini persis seperti adegan tuli sesaat di film 5CM ketika Pevita Pearce terjatuh-berguling dari lereng Mahameru. Ah, ada ada saja.) Kalau Pevita Pearce bisa seketika mendengar lagi, berbeda dengan saya. Di hari pertama kejadian, saya merasa sangat terganggu dengan kondisi pendengaran yang timpang begini. Membedakan suara mesin mobil dan motor saja tidak bisa. Itulah kenapa rasanya saya pengin sekali marah kalau ada bunyi-bunyian mesin. Saya frustasi. Telinga saya terasa penuh, dan membuat  suara apapun sulit dianalisis.  Lalu saya jadi ingat perkataan seorang teman yang bisa dikatakan sebagai aktivis pembela difabel, dia bilang "Terk