Skip to main content

Manekin yang Bagiku Misteri

Semalam--sepulang kerja kulajukan motor keliling fakultas mantan kampus. ada rindu yang lebay; berteriak-teriak di sini, di dadaku yang bergemuruh. sebab, aku tahu pasti, bukan hanya ada kenangan yang indah-indah, tapi juga peristiwa buruk yang tetap lestari di ingatan.  
Ya, aku sekadar memanjakan diri, meski sebenarnya aku tak ingin sesendu ini. toh, siapa pula yang merindu, selain pada pikiran yang tak adil begini.  
Kuhabiskan semangkuk salad buah di tempat langganan. kuceritakan pada seorang kawan baik tentang banyak hal seperti yang sudah-sudah. kami terbiasa menyempatkan diri untuk bertemu, berbagi; sekadar bercerita hal sepele, berkeluh kesah sesuka hati. tapi bagi kami ini penting, meski untuk sekali dalam seminggu saja.  
Ah, seandainya hati bisa puas dengan kesepian? nyatanya aku tidak. tidak bisa.
Jam di tangan belum cukup malam. kuputuskan memanjakan keinginan kedua. ke butik, ke toko asesoris. 
 
Dan di sinilah mataku terpusat pada sederet manekin setengah badan. ada yang mengganggu, baik pandangan, rasa penasaran dan sebanyak duga kira tentang manekin bersolasi hitam di bagian mata. sekali-kalinya itu aku melihat dan terbit segala yang mengganggu ini. gumun yang ketinggalan. maklum yang belum kutempatkan pada posisinya.  
Pasti bukan tanpa sebab si pemilik butik melakukan yang demikian ini batinku. bisa jadi ada mata yang menakutkan di sana? atau mata bolong, mata cantik, mata yang menjadikan suatu benda diharamkan jadi bentuk. suatu hukum yang terlambat kuketahui. atau bisa jadi, suatu hukum yang aku boleh menempatkannya menjadi tak penting.  
Ya, aku yang penasaran ini. yang tak pernah puas dengan kesepian dan tanda tanya. kubikin tulisan ini setelah membaca HRM, Al-Jana'iz, 969. dan membuat duga kira lagi tentang diri si pemilik manekin tanpa berani aku bertannya sendiri.



Comments

Popular posts from this blog

Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan

Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani.  Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga.  Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee.  Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur.  Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat.  Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya

Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?

Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja.  Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT.  Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya.  Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toil

Duh, Gendang Telinga Saya Pecah ...

Seminggu yang lalu, telinga kiri saya terbentur keras sekali. Rasanya memang tidak terlalu sakit, tapi sekian detik dari kejadian itu, dunia berubah jadi sunyi. Begitu aneh. Sebab rasanya seperti sedang berada di kampung sepi pada dini hari. Tanpa ada suara, hingga dengungan telinga jadi terdengar amat jelas. (Saya lantas ingat, kok pendengaran ini persis seperti adegan tuli sesaat di film 5CM ketika Pevita Pearce terjatuh-berguling dari lereng Mahameru. Ah, ada ada saja.) Kalau Pevita Pearce bisa seketika mendengar lagi, berbeda dengan saya. Di hari pertama kejadian, saya merasa sangat terganggu dengan kondisi pendengaran yang timpang begini. Membedakan suara mesin mobil dan motor saja tidak bisa. Itulah kenapa rasanya saya pengin sekali marah kalau ada bunyi-bunyian mesin. Saya frustasi. Telinga saya terasa penuh, dan membuat  suara apapun sulit dianalisis.  Lalu saya jadi ingat perkataan seorang teman yang bisa dikatakan sebagai aktivis pembela difabel, dia bilang "Terk