Skip to main content

Semoga pengampunan yang murah untukmu, Kah

sebab yang manja ini tak juga mau pergi. kuturutkan maunya, mengenang yang dulu-dulu, menjadi kian tebal rindu yang tak bertujuan ini. 

orang sekarang menyebutnya kepo. kukunjungi profil fb sekian nama yang melintas di kepalaku. terlalu lama tak saling sapa, ada kabar apa? oh aku diunfriend, ada yang deaktif. aku makin pengen tahu. kubuka album foto. sudah beranak berapa? siapa lagi pacarnya? oh, sudah menikah, dan banyak lagi keingintahuan ini. 

kemarin malam pun telah kuturutkan menengok fakultas mantan kampus. kulewati kampung Karang Malang. segala ingatan bergantian memenuhi kepala. rumah itu. ya, sekilas kupandang rumah bercat oranye, masih bercat sama seperti beberapa tahun silam ketika seorang teman baik pernah menghuni tempat itu. bagaimana kabarnya? sudah luluskah? ah, kenapa begini segan untuk mampir. 

padahal aku pernah bersedu sedan. mengadu banyak hal. kumintai ia bantuan yg tak sekadar materi. bahkan, kukabarkan hari bahagiaku yang disambutnya dengan penyesalan. "Maaf aku tak bisa datang, aku sakit" katanya. ia teman sekaligus kurasai sebagai saudara. 

dan pagi ini, aku kelewat ngantuk. kembali jadi kepo. membuka-buka nama yang melintas di kepala. aku kembali mengingatnya, aku berhenti di profil Farikhah Jariyati N. seketika darahku mendesir. kubacai mention sekian kawanmu yang memberi doa di tanggal 25 November 2012. tanggal yang mencatat kepulanganmu yang kekal. tanganku mulai dingin. aku begini terlambat tahu. aku begini rindu. ah.

dan barangkali setiap diri punya kesepian sendiri, kehilangan yang lebih dari milikku. aku tahu pasti, tinggal waktu yang mengantarnya. seperti perasaan kehilangan yang milikku ini. semoga jalanmu mudah, dan pengampunan yang murah untukmu, Kah. doa yang tak sekadar kutulis ini untukmu. untukmu.

Comments

Popular posts from this blog

Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan

Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani.  Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga.  Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee.  Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur.  Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat.  Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya

Garis Dua di Bulan April 2017

Empat tahun setengah, bukanlah waktu yang sebentar bagi kami yang kurang tabah ini menghadapi serangkaian pertanyaan tentang anak--mulai dari pertanyaan basa-basi, hingga sejumlah tuduhan menyakitkan yang kerap mampir membikin air mata tak tahan berderai-derai jatuh di sajadah.  Beruntungnya, suamiku tetap menggenggam tanganku erat, menguatkan di depan, meski aku tak tahu betul jika barangkali ia pun diam-diam memunggungiku untuk menahan tangis sendirian.  "Kita sudah berusaha, Dik, dengan sebaik-baiknya ..." bisiknya pelan, tiap kali aku mengadu.  Namun, saat hati terasa amat sakit mengingat tuduhan buruk yang bukan jadi kuasa kami, usai salat aku justru tak bisa berdoa. Aku menatap ke atas, diam, menangis pun tak sanggup. Lalu dengan pasrah, aku yang lemah hingga tak kuasa membungkam suara hati yang lepas begitu saja,  "Tuhan, tidakkah Kau melihat ini semua dari sana? Aku harus bagaimana?" Kan, yang tahu apa usaha kami hanya kami sendiri dan Tuhan

Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?

Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja.  Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT.  Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya.  Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toil