Skip to main content

Usia Perkawinan yang Rawan



Jika ini sebuah permulaan, harusnya aku tak bertanya; kapan semua yang tak menyenangkan ini akan berakhir. Bukankah manusia bijak ialah mereka yang sabar menjadi pembelajar? Lalu salahkah jika aku pikir, ini sebuah kejahatan bagiku, jika di usia sepekan pernikahan kita, kau tuntut aku sesempurna ibumu—wanita yang telah lebih matang menjadi perempuan. 


Berapa usia pacaranmu? Lima tahun? Sepuluh tahun? Apa kamu yakin sudah mengenali pacarmu dengan baik? No, pacaran selama apapun tidaklah cukup untuk kamu tahu dengan baik tentang pasanganmu. Kamu akan tahu seperti apa lelakimu ialah ketika kamu telah berada di satu rumah. Menikah. 

“Setelah menikah, baru kelihatan sifat aslinya” Sering kan denger kalimat itu? Padahal tidak semua orang sepakat dengan pendapat tersebut. 

Saya menjalani proses pacaran dengan lelaki saya selama empat tahun lebih. Waktu yang terbilang lama untuk saling mengenal karakter satu sama lain. Apakah setelah menikah, saya bilang bahwa sifat aslinya baru kelihatan? No, saya yakin, saya sudah mengenali sifat aslinya sejak kami pacaran. Tapi, tentu saja tidak sebanyak yang saya tahu setelah menikah; Kebiasaan buruknya yang saya tidak suka, hal-hal remeh yang membuat saya ilfil. Semua baru saya tahu setelah kami tinggal di atap yang sama setiap harinya. 

“Tiga bulan pertama pernikahanku, hampir terjun ke medan pengadilan agama” Cerita seorang teman. Yah. Penting buat kamu tahu, bahwa tiga bulan usia pernikahan ialah proses yang berat sekaligus mengesankan. 

Menjalani hidup yang baru bersama orang yang kita cintai tentu saja menyenangkan. Mimpi-mimpi indah terpeta sepanjang hari. Tapi di sisi lain, akan menjadi berat, jika proses adaptasi yang kamu jalani tidak berjalan dengan mulus. Hal terpenting yang dapat meloloskan ketidaknyamananmu ialah komunikasi yang baik. Jika komunikasimu dengan suami berjalan sesuai harapan, saya yakin kamu tidak akan merasa kesulitan melewati proses ini. 

Awal menikah, saya sempat sedih ketika harapan yang saya impikan dulu ternyata tidak menjadi nyata setelah menikah. Tidak ada edisi masak bersama sekali waktu, makan bersama setiap hari. Pun pergi ke suatu acara yang sama, kami lebih sering berangkat sendiri-sendiri. Kelihatan aneh, ya? Awalnya saya pikir juga begitu. 

Hal lain yang menyedihkan terkadang juga datang, ketika mendengar “Jangan malas nyuci baju dong, Mam. Masakan jangan keasinan, rumah kenapa berantakan dan bla…bla…bla” 

Urusan dapur, kasur dan sumur kena komplain. Padahal mungkin kamu sedang belajar mengatur waktumu. Baru belajar meramu resep masakan. Padahal suami juga tahu kalau kita bekerja di luar rumah. Menangislah kalau perlu, tapi jangan terlalu lama. Melawan terkadang juga bukan solusi yang bijak. 

Ingat, ada banyak suami dengan mindset kolot bahwa suami itu tidak boleh jadi salah. Mereka akan mendominasi rumah tangga tanpa kompromi. Menolak pendapat istri dan lain sebagainya dan memosisikan istri lebih rendah dari mereka. Tidak perlu kita memaksakan pikiran modern ke suami dengan sifat seperti itu. Kalau mereka tidak dapat diajak bicara, perempuan yang cerdas ialah yang tahu bagaimana meramu kekurangan suami menjadi sesuatu yang wajar. Nggak enak juga kan, kalau sekapal beda tujuan? 

Mungkin kamu juga menemui sifat suami yang super duper menjengkelkan, yaitu mereka yang mencari-cari kesalahan kita sebagai pencitraan bahwa kita ini makhluk yang masih banyak salah dan musti diatur. Oh, girl. Ini big no no. Kurang kerjaan banget, kan? 

Yah. Lagi-lagi ini soal mindset. Kasus macam begini sering terjadi di rumah tangga dengan suami yang tidak bekerja. Mindset lama yang ‘memukul palu’ bahwa lelakilah yang harus mencari nafkah menjadi sumber masalahnya. 

Tentu saja, karena suami tidak bekerja membuat ia kehilangan citra sebagai suami sempurna. Maka dari itulah, di sisi lain ia akan terus mencari kesalahanmu sebagai usaha merendahkan posisimu. Tugasmu sebagai istri ialah membesarkan hati suami supaya kepercayaan dirinya kembali stabil. Nggak ada salahnya kok penghasilan istri lebih besar, atau istri bekerja sementara suami ada di rumah. Asalkan, kita adil dan sepakat dengan pembagian job dalam menjalani rumah tangga. 

Suami saya tidak suka sayur, dan saya tidak tahu banyak hal yang tidak disukainya. Ini menjadi PR berat buat saya dalam soal ini. Kalau saja suami saya suka sayur, tentu dengan gampang saya akan memasak sayur yang berbeda setiap harinya, dengan 1 cara masak. Tapi sebaliknya, PR saya adalah harus bisa mengolah bahan yang terbatas dengan cara masak yang berbeda-beda. 

Sepulang kerja pukul 17.00 saya belajar mengolah bahan yang sama dengan resep yang baru. Badan yang lelah menjadi salah satu faktor konsentrasi saya berkurang. Yap, masakan saya keasinan lagi. Suami saya, yang pulang pukul 21.00 WIB tidak menyentuh masakan saya. Alasan yang membuat sakit hati ialah ia sudah makan di luar. Dan lebih menyakitkan lagi ialah di pagi hari, saya harus membuang masakan yang dibuat oleh saya tersebut ketika badan lelah pulang kerja. Di sinilah kesabaran saya terkuras. 
“Mau dimasakin apa, Mas”
“Terserah” Jawabnya. Ini bukan soal kebebasan di mana ia membebaskan saya untuk memasak apa saja. Secara implisit, sebenarnya ia menyuruh saya untuk tahu apa yang dia mau. Hello girls, PR kedua saya adalah ini. Kalau makanan saya tidak dimakan, tidak bisa memberi masukan untuk masakan saya, lalu bagaimana saya tahu apa yang dia mau? 

Di sinilah saya belajar banyak bagaimana hidup serumah dengan orang lain. Kamu harus tahu, kiblatmu kemana, dan kiblat suamimu kemana? Kemudian di manakah kalian bisa berdiri bersama-sama. Yah, kita tidak bisa memaksakan kebiasaan kita yang paling benar, sementara kita menutup mata bahwa kita memiliki orangtua yang beda. Pendidikan yang beda. Pengetahuan yang beda. 

Bisa jadi kamu menginginkan suami yang bisa diajak bicara tentang segala hal, karena kamu melihat ayahmu begitu rukun dengan ibumu ketika berbagi cerita. Tapi, apakah kebiasaan tersebut hidup di keluarga suamimu? Begitupun, kalau suamimu menuntutmu menjadi seperti ibunya, yah, kamu harus maklum, sebab satu-satunya perempuan yang menjadi cermin suamimu ialah ibunya sendiri. 

Tidak sedikit perempuan di usia pernikahan muda tidak dapat langsung hamil. Yup, jika kamu tahu proses adaptasi tidak semenyenangkan yang kamu kira. Mungkin kamu akan maklum. Bukankah salah satu penyebab perempuan susah hamil adalah stress? Jadi saya acungkan jempol buat perempuan-perempuan yang bisa survive melewati masa ini. 

Desember 2012

Comments

Popular posts from this blog

Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan

Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani.  Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga.  Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee.  Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur.  Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat.  Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya

Garis Dua di Bulan April 2017

Empat tahun setengah, bukanlah waktu yang sebentar bagi kami yang kurang tabah ini menghadapi serangkaian pertanyaan tentang anak--mulai dari pertanyaan basa-basi, hingga sejumlah tuduhan menyakitkan yang kerap mampir membikin air mata tak tahan berderai-derai jatuh di sajadah.  Beruntungnya, suamiku tetap menggenggam tanganku erat, menguatkan di depan, meski aku tak tahu betul jika barangkali ia pun diam-diam memunggungiku untuk menahan tangis sendirian.  "Kita sudah berusaha, Dik, dengan sebaik-baiknya ..." bisiknya pelan, tiap kali aku mengadu.  Namun, saat hati terasa amat sakit mengingat tuduhan buruk yang bukan jadi kuasa kami, usai salat aku justru tak bisa berdoa. Aku menatap ke atas, diam, menangis pun tak sanggup. Lalu dengan pasrah, aku yang lemah hingga tak kuasa membungkam suara hati yang lepas begitu saja,  "Tuhan, tidakkah Kau melihat ini semua dari sana? Aku harus bagaimana?" Kan, yang tahu apa usaha kami hanya kami sendiri dan Tuhan

Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?

Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja.  Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT.  Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya.  Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toil