Skip to main content

Cerpen Jelangga

Jika si lelaki yang membikin salah, perempuan berkewajiban buat menutupi aib suami. Jika kelak si istri yang membuat malu, buat apa mengasuh perempuan pembawa aib. Katanya. Buang saja, buang. Sialan.


Lelakinya terjadwal pergi ke luar kota selama dua hari. 


Istri mana tak jadi senang bila ia menemukan dirinya yang dulu, bebas, tanpa terikat. Apalagi di saat suasana hatinya sangat buruk. Ia tak tahu mesti bercerita pada siapa?

Yang dua hari itu, ia menimbun-nimbun rindu. Dibayang-bayangkannya, ketika nanti si suami pulang, hatinya sudah akan membaik. Kadang ia butuh sesuatu yang baru, tempat baru, perlakuan baru, yang bakal bikin cintanya kembali bermekaran. 

Jika suaminya pulang, ia berencana berdandan, dengan wewangian pula akan dipakainya. Sore hari setelah lelah bekerja ia bereskan rumah sampai rapi. Ia akan menyambut suaminya dengan cantik dan rumah bersih. Ia sengaja tidak masak. Biar saja. Toh si suami bakal sampai di rumah pada tengah malam mendekati pagi. Sesampainya di rumah tentu si suami hanya sempat membersihkan diri dan terbayang sudah bakal berguling-guling di kasur dengan rindu yang sejadi-jadinya. 

Si istri sudah sengaja mengatur jadwal kerjanya besok untuk masuk di sore hari. Ya, setelah dua hari ditinggal pergi, ia ingin berlama-lama manja kepada suaminya. Ia berharap pagi hari akan turun hujan, yang bakal membikin mereka betah berlama-lama di atas kasur. 

“Setelah acara selesai langsung pulang kan, Mas?” Si istri mengirim pesan di sore menjelang maghrib, di sela-sela ia beberes rumah. Tak ada jawaban. Sebenarnya tak perlu ditanya ia tahu si suami bakal pulang tengah malam. Kan, bukan sekali itu ia tahu. 

Sebelum dua hari kepergian si suami ke luar kota, hati si istri sempat hancur tidak keruan. Ia marah. Tapi musti marah pada siapa?

Suatu malam, ketika ia pergi bersama suaminya ke suatu acara. Bungah ia tidak kepalang. Rindu pada acara-acara yang sebelum nikah sering ia kunjungi sendir. Teman-teman datang. Ia tahu, sebenarnya ia bakal kecewa, bakal merana, bakal terasing, seperti yang sudah-sudah. Tapi hatinya mengeras, ia tak cukup jera meski seringkali menyesal tanpa ampun. 

Bukan sekali ia hanya ditenteng ke suatu acara. Selebihnya ia akan sendirian, tiada teman, tiada tempat bercerita. Entah alasan apa, si suami selalu menghindar. Membikin sakit, benar-benar sakit hatinya. Tapi toh bukan sekali itu ia sakit. Memprotespun percuma. Sudah pernah ia coba. 

Teman-teman akan sibuk sendiri, ia pun begitu, terasing seperti anak ingusan yang kehilangan ibu. Pun si suami yang mendadak jadi super akrab dengan seorang perempuan. Ia tak cemburu, tapi hatinya sakit lantaran ia merana sendirian sedang si suami mendamaikan perempuan lain. Perempuan yang padahal ia pun mengenalnya. Tapi akan apa ia katakan, jika bergabung akan semacam kambing congek.

Akan selalu seperti itu. Si istri akan dikasihani kenalan-kenalannya. Dilihat menyedihkan, sebab diacuh tak acuhkan oleh suami. Pun apa daya, eforia kedatangannya membikin ia lupa pada sakit yang sudah-sudah. Selalu seperti itu, sepulangnya ia menyesal tiada ampun. Hatinya tidak keruan. Kemudian ia kembali berjanji buat tak lagi ikut pergi dengan si suami. Seperti yang sudah-sudah, toh ia pun kembali melanggar janjinya itu.

Di lain hari. Rumahnya kedatangan tamu. Lebih dari sepuluh orang memenuhi rumahnya. Si istri sibuk di dapur. Katanya, memuliakan tamu itu kewajiban. Maka si istri sibuk sendiri, tenggelam di antara sayur dan piring-piring. 

Beberapa tamu, ikut membantu mengeluarkan minum. Sampai acara bertamu selesai, satu di antara mereka berkata pada suaminya. 
“Kubawa ya Mas nasi kotaknya?” Suaminya hanya mengiyakan. Si istri pun mempersilakan tanpa basa basi. “Sisa makanan yang melimpah itu dibawa saja sekalian jika berkenan”. Tapi soal nasi kotak? Siapa bikin nasi kotak? Ia tak membikin, pun tak tahu ada tamu yang datang membawa nasi kotak. Si istri cuma menduga-duga. Tak berani bertanya. Toh, perut kenyang, masakan melimpah, apa pentingnya sekotak nasi. 

Si istri masih diam, ia pendam berhari-hari pertanyaannya. Ia butuh penjelasan. Tapi suasana hatinya terlalu buruk. Ia takut sakit hati. Maka di sore hari yang entah apa sebabnya. Ia bertanya. 
“Kemarin nasi kotak itu nasi apa Mas?”
“Tetangga rumah kita, ada yang ngasih. Syukuran rumah.” Jawab si suami. Si istri kaget bukan main. Sakit benar dirasa-rasa hatinya itu. Ia memiliki separuh rumahnya. Ia nyonya rumah. Apa yang datang dan pergi dari rumahnya, terlebih soal makanan—urusan perempuan—mestinya ia tahu. Tak tahukah suaminya jika nasi itu tak lain dari amanah? Mestinya ia diberi tahu. Ia berhak tahu. Ia tinggal di rumahnya. Berbaur dengan tetangga. Apa yang akan terjadi jika kebetulan ada kumpulan ibu-ibu, ia tak tahu ada kabar apa dari kampungnya. Toh si istri yang tak pandai bicara itu cuma diam. 

Lagi. Sehari sebelum keberangkatan si suami ke luar kota. Mereka pergi ke kondangan. Jalan yang ditempuh cukup jauh, menikung, menanjak, dan berlobang-lobang. Si istri benci dibawa lari ketika naik motor. Benci sebenci bencinya. Ia tak bangga sedikit pun pada orang yang tak sayang pada nyawanya yang satu-satunya itu. Pengebut sialan. Untuk itu, ia tak punya idola pada pembalap. Tapi kepada suaminya, apa boleh ia benci selain sesak yang merambat ke dadanya. Sudah sering ia katakan, ia takut, ia takut dibawa lari dengan motor kencang. Apa ia dapat, secuil pengertian itu? Belum.

Sesak itu masih ditambah dengan kandungan yang ia khawatirkan. Ia memang belum hamil. Tapi ia sedang program. Ia mendamba anak, maka ia jadi lebih hati-hati soal makan, jalan dan lain-lain yang mungkin bakal menghalanginya untuk hamil. Ia merasa sendirian buat mendapatkan seorang anak. Sendirian. 

Setiap bulan ia membeli tespack, tapi ia tak suka jika si suami bilang begini “Memangnya kamu hamil?” atau “Itu cuma sugestimu saja”. Kalimat yang begitu bukankah membikin hatinya ciut. Kan sedang usaha, Mas. Sedang usaha. Apa salah punya harapan? 

Pernah juga ia membeli susu khusus menyambut kehamilan. Tapi kembali si suami berkata “Ah kemakan iklan kamu” Ya ampun. Kan sedang usaha, Mas. Sedang usaha. Memang apa usahamu?

Si istri terpaksa sembunyi sembunyi buat program hamil itu. Ia bisa tiba-tiba marah ketika suaminya dengan kasar bercanda dengan perutnya. Ia tak mau lagi usahanya diketahui suaminya. Cupu kapok. Kadang ia pun jadi uring-uringan ketika dibonceng suaminya naik motor tak kenal lobang jalan. Ia cuma khawatir, bagaimana jika ia sedang hamil kemudian tergoncang perutnya karena lobang-lobang jalan? Tapi si suami tak pernah ambil peduli. Selalu dengan andalannya, “Emang sudah hamil, perlu hati-hati?”

“Orang mencegah punya anak, tentunya pakai kondom ketika bercinta, bukan setelah hamil. Tapi orang yang pengin punya anak, lain lagi. Ia akan menjaga kandungannya meski di rahimnya belum tumbuh nyawa anaknya. Ia tak akan menunggu keguguran sebab terlambat tahu jika ia sedang hamil” 

Segala yang memberatkan hatinya kemudian memudar, selama dua hari kepergian suaminya ke luar kota. Tinggal beberapa jam lagi. Si istri menunggu sambil membaca buku. Tak mau ia tidur dan menyambut suaminya dengan muka kusut mengantuk. Tapi kenapa pula tak ada kabar. 

Si istri mulai cemas ketika pukul 1 malam si suami masih tak ada kabar. Ia mulai menghubungi rekan si suami—perempuan yang tadi diceritakan—yang dalam suatu acara didamaikan hatinya ketika ia, si istri sendiri merana. 
“Kaliyan, mau ke Jogja jam berapa, Mbak?” tanya si istri via SMS. Lima menit kemudian, ia mendapat balasan. 

Sungguh. Gemeretak giginya membikin sekujur tubuhnya jadi menggigil. Tangannya dingin bergetar. Siapapun bakal tahu, jika si istri menahan marah dan kecewa tiada tertahan. Suami yang diharap-harapnya. Yang dibayangkannya bakal berguling-guling manja di malam dingin hingga sore itu, ternyata bakal pulang bawa perempuan. Suaminya pulang menjelang subuh membawa perempuan. Perempuan. 

Si istri tak lagi membalas. Hatinya sakit. Ia kirimi suaminya SMS bertubi-tubi. Ia marah bukan lantaran suaminya bawa perempuan. Ia marah sebab tak diajak bicara, tak ada kabar sebelumnya. Seorang istri, meski hina dina buat melayani suami. Ia tetaplah nyonya rumah. Ia yang menguasai separuh rumah, meski lebih tekun pada dapur dan kamar mandi. 

Suara motor memasuki halaman. Si istri buru-buru ke dapur buat bikin teh hangat. Tapi, sialnya, seperangkat dapur itupun menantangnya buat berkelahi. Gas mendadak habis. 

Si istri kembali ke depan televisi. Menekuni buku yang tadi dibacanya. Tamu perempuan itu pun masuk dan si istri persilakan untuk langsung masuk ke kamar, satu-satunya kamar yang ada di rumah itu. Menyusul si suami muncul di ambang pintu. 
“Hei, kamu SMS” kata suami. Dari nada suaranya, si istri tahu jika SMS bertubi-tubi yang dikirimnya belum terbaca. Mata suaminya mulai berkilat-kilat. Ia tahu dan hafal tabiat si suami yang selalu, dan selalu merasa benar sedang lawannya akan selalu salah. Mungkin kelak, si istri akan terus mencatat sifat suaminya yang satu itu. Tentang ia yang selalu, selalu menyalahkan orang lain. Sebab dan ataupun tanpas sebab. 

Kerinduan yang ditabungnya selama dua hari sirna sudah. Barangkali ia tak pantas bahagia. Sebab di ceramah agama, yang musti dibahagia-bahagiakan cumalah suami . Istri tidak. 

Suaminya mendekat sambil membacai SMS yang datang bertubi-tubi. Ia begitu marah. Dilemparlah HPnya. 
“Aku nembe bali. Ngelih, kesel. Malah digawe nesu!” katanya dengan nada suara marah yang tertahan. Si istri hanya diam. Bagaimana ia tahu suaminya bakal lapar jika tak ada kabar sebelumnya. Misal berkabar, barangkali ia siapkan masakan. Jika berkabar barangkali ia lebih dulu tahu gas kompornya habis. Jika berkabar barangkali ia akan menyuruh suaminya makan di luar sebelum sampai di rumah.

Si istri ingin menangis, tapi buat apa menangis?

Ia tak sudi lagi air matanya jatuh buat sakit hati sebab mengasihani diri sendiri. Ia tahan kuat-kuat tangisnya. Tak boleh lagi air macam itu melewati pipinya. Air macam itu biarlah turun pada jalan yang najis, yang hina dina seperti lobang vagina. 

Kemudian, si istri bakal tahu apa yang akan terjadi nanti dan besok. 
“Kenapa masih atos begitu. Selalu marah-marah begitu” tegur si suami. Barangkali ini akan terjadi sehari atau dua hari kemudian. 
“Buat apa dibahas. Dari awal tak ada pembicaraan. Buat apa ada penyelesaian” jawab si istri. 
“Kemarin aku kelaparan, berharap ada masakanmu”
“Kenapa tidak memberi kabar lebih dulu?”
“Aku kira kau lebih paham jika suami pulang bakal ada masakan” kembali si suami menyalahkan. 
“ Setiap orang punya kepala dan isinya sendiri, Mas. Pun kita” jawab si istri.
“ Tapi aku berharap bisa makan di rumah, makan masakan istriku. Tapi kau tak tahu”
“ Aku memang tidak tahu. Tidak pernah tahu jika sebelum sampai di rumah, kau berniat makan lebih dulu dengan perempuan lain, kan” kini tak lagi ia bisa tahan. Ia tahu, dari cerita tamu perempuannya. Lelaki pembual batinnya. 
“Ya ... ya … aku hanya tak ingin menyusahimu, Dek. Hari telah subuh waktu itu, tentu kau sudah tidur”
“Kau tak berkabar, Mas. Bagaimana kau tahu apa yang kukerjakan. Kita tidak bicara, bagaimana kau tahu apa yang kupikirkan.” Hening. Si istri menyesal. Kenapa hanya di kepalanya ia bisa berkelahi. Kenapa hanya pada tulisan ia bisa mengancam, memaki, membabi buta. 

Kan alasanmu selalu sama, Mas. Jika kau pergi denganku. Persoalan makan bisa jadi perkara rumit. Mulai dari malas mampir-mampir. Ribut mencari tempat makan. Ujungnya bakal pulang dan menungguku buat mie instan. Kenapa dengan perempuan lain, kau bisa mengajak? Mengajak makan tanpa perlu serumit kita. Batin si istri. 

Sampai pada suatu hari, si istri pulang kerja hingga larut. Tak pernah ia berniat tak pulang. Sebagai istri, ia musti pulang, sebab ia punya rumah. Namun hatinya telah kebas, dikirimnya SMS kepada si suami. 
" Aku ndak pulang. Aku bukan mau minta izin, sebab bukan perempuan saja yang mestinya minta izin. Untuk itu, aku tak butuh izinmu. Kau temanku tidur. Sebagai teman, aku berkewajiban tak membuatmu khawatir"

Begitulah selanjutnya. Si istri bakal tahu, si suami akan meluap-luap marah. Kemudian mereda sendiri. Namun hati si istri terlanjur kebas, sakit berlobang-lobang. 

Pada suatu hari, si istri kembali pulang malam. Sendirian. Kaget bukan main si suami ketika tahu istrinya berani pulang sendiri. 
“Kamu tidak takut hantu di bulak sawah?” Tanya si suami. Iya, konon, di bulak sawah yang musti mereka lewati menuju rumah pernah ada pembunuhan. Hantunya suka muncul sewaktu-waktu. Bahkan cerita lain, hantu itu suka mbonceng pengemudi motor yang sendirian. 
“Cuma pengecut takut hantu. Jika di hati sudah ada hantu, sudah ada setan, apalagi musti ditakuti? Membunuh pun ia tak bakal takut” Si suami diam. Istri pun diam.

Menikah itu tak membikin dua kepala jadi satu, ya. Aku masih berpikir dengan kepalaku, pun kau yang tak mau berkompromi. Mestinya kita punya jembatan buat berkomunikasi. Jika itu sudah kandas tak terbangun. Hilang sudah, rumah tinggal orang-orang semacam kita yang egois. Batin si istri. 

Sebab lain kepala. Si suami barangkali sedang berpikir, kapan ia akan dibunuh, dibinasakan. Sedang ia tak tahu, si istri tak akan mampu membunuh, membinasakan lelaki yang menghidupinya. Selain hanya bisa membinasakan diri sendiri. Perlahan bakal mati dimakan penyakit hati. Pun ia hanya bisa diam. Bicara pada tulisannya. 



Comments

Popular posts from this blog

Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan

Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani.  Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga.  Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee.  Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur.  Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat.  Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya

Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?

Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja.  Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT.  Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya.  Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toil

Duh, Gendang Telinga Saya Pecah ...

Seminggu yang lalu, telinga kiri saya terbentur keras sekali. Rasanya memang tidak terlalu sakit, tapi sekian detik dari kejadian itu, dunia berubah jadi sunyi. Begitu aneh. Sebab rasanya seperti sedang berada di kampung sepi pada dini hari. Tanpa ada suara, hingga dengungan telinga jadi terdengar amat jelas. (Saya lantas ingat, kok pendengaran ini persis seperti adegan tuli sesaat di film 5CM ketika Pevita Pearce terjatuh-berguling dari lereng Mahameru. Ah, ada ada saja.) Kalau Pevita Pearce bisa seketika mendengar lagi, berbeda dengan saya. Di hari pertama kejadian, saya merasa sangat terganggu dengan kondisi pendengaran yang timpang begini. Membedakan suara mesin mobil dan motor saja tidak bisa. Itulah kenapa rasanya saya pengin sekali marah kalau ada bunyi-bunyian mesin. Saya frustasi. Telinga saya terasa penuh, dan membuat  suara apapun sulit dianalisis.  Lalu saya jadi ingat perkataan seorang teman yang bisa dikatakan sebagai aktivis pembela difabel, dia bilang "Terk