Jika ada sesak memenuhi dadaku, aku akan mengadu padamu, akan bicara.
Tapi jika setiap pembicaraan kita tak pernah bisa bersepakat. Dan aku dibuat tak bisa bersuara selain bilang terserah, maka aku akan menulis. Menulisi kesakitanku.Namun jika menulis begini pun kau jadi marah. Aku tak lagi tahan buat menahan tangis.Biarlah aku menangis, Mas. Mengalirkan sesakku tanpa suara. Ini jalan paling akhir melonggarkan dada. Aku pasrah. Yang mungkin tak perlu melibatkanmu. Dan jika kau tak sudi melihatku menangis, memintaku buat berhenti, buat diam tanpa sesenggukan, kemana lagi kubuang sesak ini? Kan begini ini, berarti aku mati, Mas, telah mati tinggal raga yang bisu. Dan bakal mati seluruhnya, sebab hatiku perlahan jadi busuk.Kau kan bukan Soeharto, Mas, yang membungkam orang-orang berpendapat. Bukan. Tentu saja bukan.
Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani. Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga. Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee. Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur. Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat. Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya
Comments
Post a Comment
Komentar dengan menyertakan link hidup akan saya hapus. Maaf ya....