Skip to main content

*Melawan Membuatmu jadi Ada

Mendadak si istri jadi uring-uringan sendiri. Sial, kepada siapa ia mesti mengeluh? Pernikahan membatasinya buat menjaga banyak hal. Termasuk mengendalikan ucapan. Ketika hatinya benar-benar kalut karena ulah si suami, ia pun musti bungkam. Konon, menyimpan aib suami ialah keharusan. Maka ia menyimpannya sendiri di dadanya. Tanpa ia tahu, segala yang buruk jika disimpan di dadanya bakal membusuk. Ia bisa mati sebab hatinya kena sirosis. 



Namun kini ia uring-uringan bukan perkara ribut dengan suaminya. Ia punya masalah yang membikin moodnya meletup-letup. Masalah yang datang dari luar rumahnya. Tapi kepada siapa lagi ia musti cerita? Si suami, yang konon musti dijaga aibnya pun tak mau membicarakan aib orang lain. Sekali-kalinya si istri membuka obrolan, si suami bakal meresponya dengan kasar. Yang lebih membuatnya sakit ialah ketika si suami tidak menanggapinya sama sekali, dan justru mengalihkan pembicaraan. Si istri sering mencoba buat menghapus pikiran buruk yang muncul dan berasumsi bahwa si suami tak mau peduli banyak hal pada masalahnya. Maka ia mencoba lagi. Marah lagi. Mencoba lagi. Berantem lagi. Mencoba lagi. Bedebat lagi. Sialan. 

Nyatanya, masalah yang datang dari luar rumah pun bisa memicu perang di rumah tangganya. Ia kapok. Si istri kemudian lebih banyak menyimpan sendiri unek-uneknya. Toh, buat apa mengadu jika hanya menambah sesak yang musti ia simpan. Bahkan secara terang benderang, si suami berkata "Sudahlah. Jangan apa-apa diceritakan ke aku" katanya. Konon kepada suamilah ia hanya boleh berlindung, maka ia wajib menjaga yang buruk-buruk. Maka perlakuan macam ini membikin hatinya mengeras. Ia lepas dari tradisi. Percuma menjadi patuh. Percuma segalanya. 

Si istri mulai lepas, menulisi segala hal yang menjadi beban di hatinya. Tapi toh, si suami yang memiliki ia dari ujung kuku sampai rambut merasa memiliki semua catatannya. Dibacanya buku itu. Ini lebih parah. Kemarahan masalalu, jika dibaca di masa sekarang akan membikin pertengkaran baru. Lalu bagaimana? Kenapa perempuan tak boleh punya privasi? 

Maka ia kembali uring-uringan. Tak mau menulis, ia mencari teman cerita. Seorang manusia. Tapi, sebaik-baik manusia, jika tak mencintai dan kaucintai bukankah tak bisa sepenuh hati menanggapi ceritamu? Lalu, apakah suamiku mencintaiku? Batin si istri. 

Ia uring-uringan. Di hadapan suami ia memasang muka muram yang tak dibuat-buat. Semua pekerjaan rumah dikerjakannya dengan kasar. Sekali tersinggung ia mumtab. 

"Kenapa to, De?" tanya si suami. 
"Lagi banyak pikiran" kata si istri. Masih dengan muka masam. 
"Cerita dong sama, Mas"
"Kan, Mas nggak suka kalau Ade banyak cerita?" Sanggah si istri. 

Entah kekuatan dari mana, ia merasa perlu melawan. Ia butuh melawan. Melawan membuatnya jadi ada. Melawan membuatnya diperhitungkan. Ah, kenapa ia musti melawan lelaki yang justru dicintainya sepenuh hati. 
"Kan sekarang Mas yang minta" kata si suami. Kini nada suaranya semakin menanjak.
"Apa perlu Ade uring-uringan, atau ade gila dulu. Baru Mas minta Ade cerita? Baru Mas perlu tahu?" 

Comments

Popular posts from this blog

Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan

Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani.  Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga.  Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee.  Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur.  Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat.  Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya

Garis Dua di Bulan April 2017

Empat tahun setengah, bukanlah waktu yang sebentar bagi kami yang kurang tabah ini menghadapi serangkaian pertanyaan tentang anak--mulai dari pertanyaan basa-basi, hingga sejumlah tuduhan menyakitkan yang kerap mampir membikin air mata tak tahan berderai-derai jatuh di sajadah.  Beruntungnya, suamiku tetap menggenggam tanganku erat, menguatkan di depan, meski aku tak tahu betul jika barangkali ia pun diam-diam memunggungiku untuk menahan tangis sendirian.  "Kita sudah berusaha, Dik, dengan sebaik-baiknya ..." bisiknya pelan, tiap kali aku mengadu.  Namun, saat hati terasa amat sakit mengingat tuduhan buruk yang bukan jadi kuasa kami, usai salat aku justru tak bisa berdoa. Aku menatap ke atas, diam, menangis pun tak sanggup. Lalu dengan pasrah, aku yang lemah hingga tak kuasa membungkam suara hati yang lepas begitu saja,  "Tuhan, tidakkah Kau melihat ini semua dari sana? Aku harus bagaimana?" Kan, yang tahu apa usaha kami hanya kami sendiri dan Tuhan

Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?

Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja.  Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT.  Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya.  Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toil