Skip to main content

Ketika Pertanyaan Itu Datang

"Hi, kita pernah ketemu di mana ya? Kok kamu nge-add aku?" tanya sebuah akun, yang belum lama ini aku tambahkan ke friendlist.


Spontan aku kaget dong. Nggak pernah kepikiran sebelumnya kalau pertanyaan itu bakalan aku terima. Soalnya, aku biasa ngonfirm pertemanan nggak pakai pilih-pilih orang. Mau aku kenal atau nggak ke, mau mutual friendnya banyak atau nggak ada sama sekali ke, pokoknya yes aja deh. Kan kemungkinan itu selalu ada: merasa nggak kenal sama nama akunnya, ternyata malah tetangga sendiri yang pakai nama beken. Loh mungkin kan?

Lagian, quota pertemananku juga masih banyak. Nggak femes sih hihihi. Jadi, siapapun boleh loh jadi teman mayaku. Kecuali mantan yang nyakitin hati. Ya maap maap aja kalau otomatis Facebookku ngeblokir kamu. Jadi jangan tanya hatiku ya hahaha. ‪#‎NggakPenting‬

Biasanya, setelah aku konfirm, ada yang say hai di bilik chat. Karena banyak yang menyapa dan semuanya baru aku kenal, aku nggak sempet juga mau balesin satu-satu trus basa basian tak berujung. Maaf lagi ya.

Tapi, kalau aku yang nge-invite terus disapa sama yang sudah mengonfirm, kan kasusnya beda. Nggak mungkin juga aku lari atau pura-pura nggak kenal? Apalagi kalau ditanya "Hi, kita pernah ketemu di mana ya? Kok kamu nge-add aku?" jederrr.

Dalam hati sih berkata "Harus ya, ada alasannya? Kalau aku mau kepoin kamu, gimana?" ‪#‎eh‬

Tapi, dalam setiap kesempatan, aku nginvite orang emang ada dasarnya sih. Mungkin karena dia temen lama, temennya temen, orang femes, akun manfaat, syarat buat ikut lomba, atau sekadar kenal pas doi lagi jadi buah bibir. Pantesan aja, aku suka lupa "Ini siapa ya, dulu aku yang nginvite atau dia? Kok bisa sih aku nginvite dia. Nggak merasa deh. Tapi ya nggak mungkin juga dia nginvit aku. Buat apa coba" Loh?

Setelah dapat pertanyaan yang menuntut aku buat mengatakan alasan meminta berteman, aku jadi punya ide "Kapan-kapan, pertanyaan itu aku pakai buat ke orang lain ah". Kali aja bisa sekalian bikin angket.

Eh, jadi serius ya. 
Tapi boleh dipikirkan lah, besok-besok aku mau nyiapin alasan dulu kalau mau nge-add akun baru. Siapa tahu dapat pertanyaan yang sama? Huwehehehe

Comments

Post a Comment

Komentar dengan menyertakan link hidup akan saya hapus. Maaf ya....

Popular posts from this blog

Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan

Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani.  Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga.  Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee.  Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur.  Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat.  Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya

Garis Dua di Bulan April 2017

Empat tahun setengah, bukanlah waktu yang sebentar bagi kami yang kurang tabah ini menghadapi serangkaian pertanyaan tentang anak--mulai dari pertanyaan basa-basi, hingga sejumlah tuduhan menyakitkan yang kerap mampir membikin air mata tak tahan berderai-derai jatuh di sajadah.  Beruntungnya, suamiku tetap menggenggam tanganku erat, menguatkan di depan, meski aku tak tahu betul jika barangkali ia pun diam-diam memunggungiku untuk menahan tangis sendirian.  "Kita sudah berusaha, Dik, dengan sebaik-baiknya ..." bisiknya pelan, tiap kali aku mengadu.  Namun, saat hati terasa amat sakit mengingat tuduhan buruk yang bukan jadi kuasa kami, usai salat aku justru tak bisa berdoa. Aku menatap ke atas, diam, menangis pun tak sanggup. Lalu dengan pasrah, aku yang lemah hingga tak kuasa membungkam suara hati yang lepas begitu saja,  "Tuhan, tidakkah Kau melihat ini semua dari sana? Aku harus bagaimana?" Kan, yang tahu apa usaha kami hanya kami sendiri dan Tuhan

Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?

Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja.  Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT.  Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya.  Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toil