Skip to main content

Salah Jalan Boleh Saja, Asal Bisa Kembali Pulang

Praktis bener ya hidup zaman sekarang. Mau beli baju, sarung, kupluk, sampai parcel lebaran, bisa sambil boker. Tinggal klik, transfer duit pakai i-banking, besoknya barang itu sudah ada di depan pintu. Praktis kan? Internet emang luar biasa. Tapi sebelum klak klik dengan semringah ... ada baiknya cek dulu deh, saldo tabunganmu lagi sekarat apa nggak? Jangan sampai udah minta diskon gede, malah cuma PHP doang. Kasihan kamunya tau. Bisa nyesek sebulan kayak waktu naksir orang tapi nggak kesampaian buat nembak. Kasihan. 

Kalau mau bicara soal internet, berterima kasih-lah dulu pada pembuatnya. Karena tanpa mereka, kamu nggak bisa loh kepoin mantan seintim sekarang. Apalagi ngajak balikan lewat dinding cintanya (baca: dinding Facebooknya). Jadi jangan tanyakan kenapa internet bak dewa yang dipuja begitu rupa. Soalnya, mau ada di android, iphone, windosphone, laptop, bahkan komputer tabung pentium lama yang masih konsisten nyala juga bakalan kamu elus-elus terus kalau ada internetnya. Sampai-sampai gebetanmu aja cemburu karena merasa dinomorduakan. Nyadar dikit dong. 

Sejak bisa memanfaatkan internet, aktivitas kita emang jauh lebih praktis. Mau bepergian nggak bawa kitab suci, masih bisa ngaji pakai Al-quran online. Mau nggak datang ke majelis taklim, masih bisa dengerin tausiah ustaz lewat streaming atau buka Youtube. Kurang mudah apa coba? Yang sulit paling bagi jomblo akut yang usaha cari pacar tapi nggak dapet dapet. Kadang hati nggak bisa ditipu-tipu. Sekali lihat status alay calon gebetan, hati kamu langsung berontak minta pergi. Padahal PDKT aja belum. Gimana nggak jomblo seumur hidup? Sabar ya.

Duh, ada yang kesinggung. Katanya, jangan bully para jomblo dong. Oke. Kita nggak usah ngomongin gebetan dulu. Apalagi sekarang bulan ramadan. Lebih mending tingkatkan iman, bersihkan hati dari godaan syaitan yang terlaknak. 

Ya, karena bulan suci, ceritanya mau tidur saja pakai dengerin pengajian dulu. Biar pikiran terbuka katanya. Ya syukur deh. Seenggaknya, dengan mendekati Tuhan, niat bunuh diri karena terlalu lama jomblo itu bisa menyingkir jauh-jauh. Ingat utang dosa ya. (eh, kan, ngomongin cinta-cintaan lagi). Lanjut. 

Dengar pengajian sebelum tidur itu sebenarnya sudah beberapa lama saya praktikan. Awalnya sih ketawa ngakak sampai mengguncang ranjang dengar Kiai Anwar Zahid ceramah. Tapi pas lihat suami saya yang loncat dari ranjang gara-gara ngira ada gempa, saya jadi jaga kelakuan. Meskipun ya, diam-diam suka nahan ketawa sampai kaku perut. 

Nah, akibat kelewat sering dengar pengajian yang itu-itu doang, akhirnya sebelum selesai diceramahin kami udah keburu kabur ke alam mimpi. Jadi ya jangan tanyakan kemana arah ceramahnya si kiai. Lah wong fungsinya jadi berubah sebagai pengantar tidur, kok. Aduh, maafken kami Bapak. 

Tapi sumpah deh soal cerita tiket ke surga itu kami inget kok. Gimana nggak inget coba kalau mempersoalkan surga. 
"Kulo jemaahnya kiai anu, malaikat. Tiket masuk surga kulo sudah dibawa beliau" dan masuklah si wulan itu ke dalam surga dengan jaminan kiai anu. (Jangan nyamber. Saya tahu kok, mungkin nggak sesederhana itu juga sih masuk surga), Tapi dari cerita tersebut saya jadi mikir keras. Terus, kiai mana yang bakal saya sebut kelak di hari penghisapan? Masa mau bilang jamaahnya Kiai Anwar Zahid? Wong ikut pengajiannya secara live aja ngantuk. Kebiasaan dengerin pengajian sebelum tidur sih. Jadi otak saya bener-bener telah memprogram kebiasaan yang salah kaprah: denger pengajian malah kayak diperintah buat bobo. Ciloko. 

Jadi, kemana saya mesti mencari kiai?

Comments

  1. Hahah lagi puasa masih aja nyindir yang jomblo :D

    ReplyDelete
  2. ngikut pengajiannya aja ngantuk, coba kalau nonoton tv engga ngantuk-ngantuk

    ReplyDelete
  3. mendengarkan pengajian serasa diperintah buat bobo cantik :)

    ReplyDelete

Post a Comment

Komentar dengan menyertakan link hidup akan saya hapus. Maaf ya....

Popular posts from this blog

Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan

Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani.  Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga.  Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee.  Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur.  Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat.  Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya

Garis Dua di Bulan April 2017

Empat tahun setengah, bukanlah waktu yang sebentar bagi kami yang kurang tabah ini menghadapi serangkaian pertanyaan tentang anak--mulai dari pertanyaan basa-basi, hingga sejumlah tuduhan menyakitkan yang kerap mampir membikin air mata tak tahan berderai-derai jatuh di sajadah.  Beruntungnya, suamiku tetap menggenggam tanganku erat, menguatkan di depan, meski aku tak tahu betul jika barangkali ia pun diam-diam memunggungiku untuk menahan tangis sendirian.  "Kita sudah berusaha, Dik, dengan sebaik-baiknya ..." bisiknya pelan, tiap kali aku mengadu.  Namun, saat hati terasa amat sakit mengingat tuduhan buruk yang bukan jadi kuasa kami, usai salat aku justru tak bisa berdoa. Aku menatap ke atas, diam, menangis pun tak sanggup. Lalu dengan pasrah, aku yang lemah hingga tak kuasa membungkam suara hati yang lepas begitu saja,  "Tuhan, tidakkah Kau melihat ini semua dari sana? Aku harus bagaimana?" Kan, yang tahu apa usaha kami hanya kami sendiri dan Tuhan

Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?

Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja.  Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT.  Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya.  Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toil