Skip to main content

Tradisi "Resik Makam" Para Leluhur

Setelah merantau jauh dari kampung halaman, momen ziaroh menjelang Ramadan sudah enggak pernah saya lakukan lagi. Gimana mau "resik makam" leluhur sebelum punggahan kalau mudiknya aja selalu mepet Lebaran. Padahal, di Cisuru-Cilacap, menziarahi leluhur ramai dilakukan menjelang puasa. Kami percaya bahwa saat Ramadan tiba, roh-roh leluhur akan diangkat Gusti Allah naik ke atas, maka itu disebut punggahan. Berasal dari bahasa Jawa, munggah, yang berarti naik. 

Berbeda dengan tradisi suami saya. Di kampungnya, Babalan-Demak, pesarean justru ramai dikunjungi sehari sebelum Lebaran. Biasanya, masyarakat berbondong-bondong menuju pemakaman selepas asar. Jika di Cisuru biasanya kami membawa kembang 7 rupa yang ditaburkan di atas pusara, di Demak beda lagi. Mereka membawa tanaman (yang saya enggak tahu namanya, tapi mirip lalapan kemangi yang dijual di pasar) untuk ditancapkan di atas pusara. Beruntung jika tanaman tersebut nantinya akan tumbuh. 

Saat pertama kali mengunjungi sarean di kampung suami, saya bertanya perihal sedikitnya makam yang ada di sana. Jawabannya mengejutkan. Kata dia, pemakaman di sana pernah terkena abrasi sehingga banyak makam yang hilang. Kebayang enggak sih: makam kena abrasi?

Kalau di kampung saya, setiap makam biasanya dikijing agar tidak hilang dan lebih mudah dikenali anak cucunya. Ritual ngijing-nya pun pakai acara slametan segala. Sedangkan di Demak, makam yang dikijing dan diberi atap justru hanya makam para kiai dan ulama. 

Saya sempat bertanya, kenapa enggak semuanya?
Suami lalu menceritakan alasan yang dipercaya masyarakat sana bahwa makam yang dikijing kelak akan menjadi kerikil ketika tersandung dajjal. Kerikil tersebut dijadikan bola yang ditendang ke sana kemari. 

Lalu kenapa kiai dan ulama makamnya tetap dikijing? "Yang ziarah kan bukan hanya keluarganya. Tapi santri-santrinya juga. Makanya dikijing biar mudah ditemukan." kata suami tanpa membahas dajjal lagi. 

Jadi kalau di Demak, kelihatan sekali lah mana yang makam orang biasa dan mana makamnya penyebar agama. 

Bagaimana tradisi di tempatmu? 
Kalau di bagian daerahnya mbah saya, di Ciseru-Cilacap, mereka malah percaya kalau para leluhur yang dinaikan Gusti Allah pas punggahan akan turun kembali ketika Lebaran. Itulah kenapa mereka menyiapkan sesaji di masing-masing rumah. Katanya kasihan kalau leluhurnya pulang enggak ada makanan. 

Tiap daerah emang memiliki tradisinya sendiri-sendiri ya. Beruntung sekali buat kita yang masih punya tradisi dan mau mengenalnya. 

Comments

Popular posts from this blog

Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan

Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani.  Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga.  Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee.  Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur.  Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat.  Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya

Garis Dua di Bulan April 2017

Empat tahun setengah, bukanlah waktu yang sebentar bagi kami yang kurang tabah ini menghadapi serangkaian pertanyaan tentang anak--mulai dari pertanyaan basa-basi, hingga sejumlah tuduhan menyakitkan yang kerap mampir membikin air mata tak tahan berderai-derai jatuh di sajadah.  Beruntungnya, suamiku tetap menggenggam tanganku erat, menguatkan di depan, meski aku tak tahu betul jika barangkali ia pun diam-diam memunggungiku untuk menahan tangis sendirian.  "Kita sudah berusaha, Dik, dengan sebaik-baiknya ..." bisiknya pelan, tiap kali aku mengadu.  Namun, saat hati terasa amat sakit mengingat tuduhan buruk yang bukan jadi kuasa kami, usai salat aku justru tak bisa berdoa. Aku menatap ke atas, diam, menangis pun tak sanggup. Lalu dengan pasrah, aku yang lemah hingga tak kuasa membungkam suara hati yang lepas begitu saja,  "Tuhan, tidakkah Kau melihat ini semua dari sana? Aku harus bagaimana?" Kan, yang tahu apa usaha kami hanya kami sendiri dan Tuhan

Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?

Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja.  Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT.  Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya.  Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toil