Skip to main content

Salah Melulu

Ingat usia, Tik. Belajarlah hidup lebih bijak. Di rumahmu sendiri, kan kau berperan pula sebagai kepala (bagian) rumah tangga. Kelak, anak-anakmu akan membaca: bagaimana ibunya, seberapa galak bapaknya. 


Hidup kita memang tak luput dari khilaf dan sial. Saat dua hal itu menghampiri, tak usah kau cari kambing hitam melulu, Tik, jangan. Belajarlah lebih bijak. 

Pagi tadi, saat gelas kopi suamimu kau tumpahkan. Kau teriak "Sialan, naruh gelas sembarangan" Husttt. Sudahkah kau berhati-hati? Lain hari yang lalu, kau rasai kepalamu hampir pecah memikirkan uang. Kebiasaanmu mencari kambing hitam sungguh tidak terpuji. Kau bilang bahwa rokok adalah pemborosan paling fatal. Pemborosan macam mana jika kau tak menghitung dengan benar, berapa yang kau habiskan, dan berapa rokok sialan suamimu itu mendapat jatah?

Kebiasaan mencari kambing hitam, terkadang membikin cara pikirmu terkesan picik. Saat kau lihat putung rokok menempel di gorden kesayanganmu, kau menjerit. Suamimu kau maki-maki. Dan di menit ke tiga, kau sadar itu bukan putung rokok suamimu, ada lelaki lain bertamu. Aih. Kau bahkan tak meminta maaf.

Soal lelaki lain yang berenang-renang di lautan milikmu, pun kau tak mau mengakui kesalahan sendiri. Kau bilang, lelaki itu terlalu menggoda. Hei, kapan sih kau berani mengakui, bahwa kau juga manusia yang penuh keliru. Behentilah kebanyakan bicara, menuduh orang lain selalu salah. Sebab, tuduhan dan makian hanya membikin sesak dada seseorang. Ia barangkali bisa diam, memendam bara apinya sendiri. Namun jika kelak ia meledak. Kau tidak akan pernah tahu, seberapa besar kobarnya akan membakarmu.

Nasihatnya Gondes, si motor Mega Pro

Comments

Popular posts from this blog

Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan

Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani.  Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga.  Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee.  Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur.  Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat.  Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya

Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?

Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja.  Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT.  Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya.  Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toil

Duh, Gendang Telinga Saya Pecah ...

Seminggu yang lalu, telinga kiri saya terbentur keras sekali. Rasanya memang tidak terlalu sakit, tapi sekian detik dari kejadian itu, dunia berubah jadi sunyi. Begitu aneh. Sebab rasanya seperti sedang berada di kampung sepi pada dini hari. Tanpa ada suara, hingga dengungan telinga jadi terdengar amat jelas. (Saya lantas ingat, kok pendengaran ini persis seperti adegan tuli sesaat di film 5CM ketika Pevita Pearce terjatuh-berguling dari lereng Mahameru. Ah, ada ada saja.) Kalau Pevita Pearce bisa seketika mendengar lagi, berbeda dengan saya. Di hari pertama kejadian, saya merasa sangat terganggu dengan kondisi pendengaran yang timpang begini. Membedakan suara mesin mobil dan motor saja tidak bisa. Itulah kenapa rasanya saya pengin sekali marah kalau ada bunyi-bunyian mesin. Saya frustasi. Telinga saya terasa penuh, dan membuat  suara apapun sulit dianalisis.  Lalu saya jadi ingat perkataan seorang teman yang bisa dikatakan sebagai aktivis pembela difabel, dia bilang "Terk