Skip to main content

Tentang Casimira yang Memprotesku

Selama dua tahun diam, mungkin ada wajarnya Casimira marah. Ia menceracau sepanjang jalan seperti manusia kena sakit panas tinggi. Awalnya, saya tidak percaya kalau suara yang begitu jelas, di antara banyaknya kendaraan sore ini adalah suara Casimira, suara motor saya. Ya, motor saya bisa bicara.

Saya kaget bukan main. Namun, jalanan begitu rame dan membikin saya tak sempat menebak banyak kemungkinan tentang alasan keganjilan ini. Satu-satunya yang masuk akal, mungkin kerna perasaan bersalah saya begitu besar. Ya, lima bulan sudah Casimira tidak diservis. Kedengarannya aneh, tapi bisa jadi kan rasa sensitif ini membuat saya bisa mendengar apa saja yang dikatakan Casimira. Hanya saya yang bisa mendengarnya.

Saya tidak tahu, Casimira memulai kalimatnya dari mana, tapi ketika ada suara yang menyebut namanya, saya baru sadar kalau ada yang tidak beres.
"Ah, jelek sekali nama Casimira ini. Seperti banci!" katanya. Saya mendadak menepi dari aspal. Saya belum paham betul asal suara tersebut, maka iseng saja saya jawab "Bagus kok nama Casimira". Saya menengok ke kanan kiri. Jangan sampai ada orang yang lihat saya ngomong sendiri.

"Astaga. Aku memang tidak segagah motor suamimu, Tikah" Busyet? Nama saya dipanggil, siapa ya? "Ya, apalagi kalau dibandingkan dengan motor rekan kerjamu yang matic, cantik. Tapi, apakah aku tak pantas mendapat nama yang lebih bagus" lanjutnya.

Saya merinding, mega senja di atas Giwangan mulai hilang. Suara ini begitu ajaib, batin saya. Tahu segala soal motornya Dian iriana yang matic, dan suami saya yang pakai motor egois, motor cowok yang tidak bisa saya pinjam ketika Casimira sewaktu-waktu ngambek.

Ketika tanpa distarter motor saya kembali berjalan, saya baru sadar kalau itu suara Casimira.

"Casimira itu artinya pembawa perdamaian, pembawa misi kebajikan loh. Harusnya kamu bangga" Tentu saja saya tidak terima. Saya memberi nama itu karena ada alasannya. Nama Casimira sendiri mencatat peristiwa besar dalam hidup saya. Kedatangannya ke Jogja membikin reda pertengkaran saya dengan Adik ketika ia tidak mau disuruh mengantar saya kerja. Casimira jugalah yang membuat saya leluasa mengunjungi pacar, tanpa perlu lebih dulu marah-marah minta dijemput. Meskipun, saya tidak tahu kapan ia dilahirkan, tapi saya mencintainya sebab Casimira adalah motor kesayangan ayah saya.

"Justru itu, Tikah. Karena aku tidak merasa cantik dan tampan. Nama pemberianmu itu mendukungku untuk jadi banci"
Saya marah. Saya berhenti di warung sayur dengan perasaan jengkel. Mana ada sejarahnya motor banci. Dasar menyebalkan. “Mungkin kalau cukup dengan Kasim atau Mira, aku bisa memilih salah satu jenis kelaminku. Casimira itu kan gabungan dua nama. Jadi, kau pikir aku berkelamin apa sih?” lanjutnya setengah berteriak. Oh Tuhan. Makin tidak waras saja.

"Kalau aku jadi perempuan, kapan terakhir aku dimandikkan? Ingat?" Casimira kian lantang berteriak. Ia semakin mendesak. Saya melirik ke jalan di mana Casimira masih terus ngoceh. Sialan betul, untung yang bisa mendengarnya cuma saya.

"Kau bilang mencintaiku kan, Tikah, tapi kenapa tak sedikitpun ada perhatiannya" suaranya dipelankan, ketika saya berjalan menuju ke arahnya "Setiap pagi kan kita berangkat kerja bareng. Tapi setiap bulan hanya bensinku yang kau penuhi. Itu pun karena kau takut sengsara, bukan? Kau lebih banyak menuai hasil. Tapi, kau tak perhatian dengan badan-badanku yang pegel"

"Ya ampun Casimira" Teriak saya. Membikin ia sedikit ‘menjundal’. Saya memelankan suara "Bulan ini kan sudah dua kali kau bikin susah aku. Nggak inget, ketika hujan lebat waktu itu tiba-tiba banmu bocor. Itu kan sudah kubawa ke bengkel. " Lanjut saya, dan celakanya ini kalimat yang salah.

"Trus salah gue gitu?" Nah kan. "Kurang baik apa coba, ban sudah tipis tidak diganti-ganti, tapi aku tidak protes? Setiap hari ketika kau sedang ketakutan diserang klakson bus-bus antar kota, kan aku juga yang menormalkan kendalimu. Dan, ketika harusnya kau fokus mengendaraiku, eh, kau malah terkesan dengan indahnya langit senja di atas Giwangan. "

"Jadi, maumu apa?"
"Aku cuma mau marah, Tik. Atas namaku, atas jenis kelaminku. Bayangkan, ketika adrenalinku terpacu untuk bisa ngebut di jalanan, kau hanya berani di titik 40 KM/Jam. Itu maksimal. "Sialan. Ah. Makin nggak jelas. Beginilah kalau benda bermesin bisa bicara.

"Terserah kau sajalah mau jadi apa? Pusing saya. Jika kau jamaah teori seks hanya terjadi antara lelaki dengan perempuan, dan bukan sesama jenisnya. Sesuaikan saja maumu kan gampang. Ketika aku yang menunggangimu, jadilah perempuan yang lembut, yang tak perlu ngebut-ngebut"
"Jelaslah aku memilih jadi perempuan ketika bersamamu. Kalau aku menjadi laki-laki, mana nafsu dinaikin kamu"


Cerita lain Casimira nih 

Comments

Popular posts from this blog

Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan

Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani.  Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga.  Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee.  Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur.  Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat.  Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya

Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?

Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja.  Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT.  Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya.  Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toil

Duh, Gendang Telinga Saya Pecah ...

Seminggu yang lalu, telinga kiri saya terbentur keras sekali. Rasanya memang tidak terlalu sakit, tapi sekian detik dari kejadian itu, dunia berubah jadi sunyi. Begitu aneh. Sebab rasanya seperti sedang berada di kampung sepi pada dini hari. Tanpa ada suara, hingga dengungan telinga jadi terdengar amat jelas. (Saya lantas ingat, kok pendengaran ini persis seperti adegan tuli sesaat di film 5CM ketika Pevita Pearce terjatuh-berguling dari lereng Mahameru. Ah, ada ada saja.) Kalau Pevita Pearce bisa seketika mendengar lagi, berbeda dengan saya. Di hari pertama kejadian, saya merasa sangat terganggu dengan kondisi pendengaran yang timpang begini. Membedakan suara mesin mobil dan motor saja tidak bisa. Itulah kenapa rasanya saya pengin sekali marah kalau ada bunyi-bunyian mesin. Saya frustasi. Telinga saya terasa penuh, dan membuat  suara apapun sulit dianalisis.  Lalu saya jadi ingat perkataan seorang teman yang bisa dikatakan sebagai aktivis pembela difabel, dia bilang "Terk