Skip to main content

Jadi, Semua Perempuan Itu Sama Ya, Mbak?

Berhubungan badan pas masa subur biasanya langsung hamil kok, katanya padaku suatu hari. Aku lalu tanya, gimana sih ngitung masa subur itu.
"14 hari setelah haid"
"Bukannya 14 hari sebelum haid, Mbak? Soalnya aku nggak teratur haidnya," curhatku. Siklus haid yang normal menurut artikel yang kubaca memang 28-30 hari, jadi gampang nentuin masa subur dengan sistem penanggalan.
"Ah nggak usah susah-susahlah, hitung aja 14 hari setelah haid," jawabnya cuek. Pede banget dengan teorinya.
Padahal selepas anak pertamanya lahir, sebelum genap 1 tahun ia justru sudah hamil lagi. Perhitungannya meleset. Ia KB dengan perhitungan masa subur yang (pastinya) keliru kan?
Beberapa bulan kemudian, aku kembali bertemu dengannya. Aku bilang, aku sedang terlambat haid, makanya harus hati-hati siapa tahu hamil. Aku nggak tahu, karena siklus haidku kacau balau.
"Udah ke dokter?" tanyanya.
"Belum Mbak" kataku.
"Oh baru asumsi aja ya?" jawabnya sinis.
"Ya, kan ndak tahu Mbak soalnya ini telatnya lama kalau dihitung dari tanggal haid terakhir, tapi di tespack masih negatif" suamiku ikut menjawab.
"Ah, nggak hamil itu. " Semena-mena ia kembali mengeluarkan teori.
"Oh jadi gitu ya, Mbak? Aku udah pasti lagi nggak hamil karena ditespack negatif?" Udah pengin banget aku tampar dia dengan cerita, kalau temenku ada yang udah lama nggak haid karena siklusnya kacau, ditespack negatif, pas ke dokter malah dikasih obat pelancar haid. Tapi beberapa hari karena penasaran nggak haid-haid kemudian ia USG, dan ternyata malah udah hamil uk 5 minggu. 

Kuposting juga di www.tikahkumala.tumblr.com
"Iyalah. Aku sehari telat ditespack langsung positif kok." Katanya lagi.
"Oh! Jadi semua perempuan pasti gitu ya. Emang siklus haidmu berapa Mbak"
"30"
"Aku kadang sampai dua bulan nggak haid je. Oh, jadi semua perempuan sama ya. Dua bulan dengan 30 hari itu apa sama ya Mbak menurutmu? Aku baru tahu," kataku sambil bergumam sinis.
Bete kadang ya, sama ibu-ibu yang menganggap bahwa kehamilan semua perempuan pasti sama. Baca buku dong. Jangan cuma jadi pajangan.







Comments

  1. hehehehe,,sabar,ini saya telat 1 hari...^^

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aku juga udah telat 11 hari Mak. Tapi biasa gitu, telatnya lama-lama. Ih.

      Delete
  2. mbak, aku belum nikah si tapi kalau untuk ukuran telat datang bulan itu normalnya berapa lama ya untuk diperiksakan? biasanya saya ga pernah telat tapi ini sudah 10 hari kok belum datang bulan juga :(

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sudah nikah Mbak? Barangkali hamil? Haduh, normalnya berapa lama saya kurang paham Mbak. Tapi katanya normal siklus haid itu ya 28-30 hari. Tapi ada temen saya yang siklusnya kacau tapi tetep sehat, diperiksain normal. Haduh

      Delete

Post a Comment

Komentar dengan menyertakan link hidup akan saya hapus. Maaf ya....

Popular posts from this blog

Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan

Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani.  Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga.  Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee.  Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur.  Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat.  Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya

Garis Dua di Bulan April 2017

Empat tahun setengah, bukanlah waktu yang sebentar bagi kami yang kurang tabah ini menghadapi serangkaian pertanyaan tentang anak--mulai dari pertanyaan basa-basi, hingga sejumlah tuduhan menyakitkan yang kerap mampir membikin air mata tak tahan berderai-derai jatuh di sajadah.  Beruntungnya, suamiku tetap menggenggam tanganku erat, menguatkan di depan, meski aku tak tahu betul jika barangkali ia pun diam-diam memunggungiku untuk menahan tangis sendirian.  "Kita sudah berusaha, Dik, dengan sebaik-baiknya ..." bisiknya pelan, tiap kali aku mengadu.  Namun, saat hati terasa amat sakit mengingat tuduhan buruk yang bukan jadi kuasa kami, usai salat aku justru tak bisa berdoa. Aku menatap ke atas, diam, menangis pun tak sanggup. Lalu dengan pasrah, aku yang lemah hingga tak kuasa membungkam suara hati yang lepas begitu saja,  "Tuhan, tidakkah Kau melihat ini semua dari sana? Aku harus bagaimana?" Kan, yang tahu apa usaha kami hanya kami sendiri dan Tuhan

Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?

Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja.  Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT.  Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya.  Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toil