Skip to main content

Tentang Proofreader

"Setengah hari deh ya ngeproof naskah 200 halaman ini. Kan nggak kayak ngedit. Pasti bisa cepetlah, wong itu udah rapi kok. Udah berkali-kali kubaca dan minim typo banget," kata teman saya yang editor.

"Ah cuma ngeproof. Kerjanya baca sambil ngoreksi typo dan EYD, apa susahnya sih?" kata yang lain. 



"Enggak usah bayar proofreader profesional deh, cari aja orang yang suka baca suruh ngoreksi. Lebih murah. Lebih hemat. Lah wong cuma kek gitu kok, siapapun pasti bisa," ups, boleh saya salto? 


Duh, saya sering sekali melongo mendapati dialog-dialog seperti itu.
Benarkah kalau pekerjaan sebagai proofreader itu semudah Putri Nirmala menggoyangkan tongkat ajaibnya, "Bim salabim, jadilah beres!!" wusssshhh?

Tentu tidak kan.

Menurut saya, pekerjaan ini—finishing naskah— tanggung jawabnya besar ke pembaca. Seorang proofreader yang kerjanya asal-asalan berpotensi membuat pembaca sakit mata akibat typo di mana-mana. Lebih buruknya lagi, kalau typo itu ada di buku resep masakan. 

Coba bayangkan, misalnya dalam buku tersebut harusnya berbunyi; "masukan garam sebanyak 1 sendok teh ke dalam masakan". Tapi karena lolos dari pengamatan editor dan proofreader, maka takaran 1 sendok teh menjadi 10 sendok. Nah, apa kabar coba rasa masakan itu? Itu baru buku resep masakan, belum kalau buku kesehatan atau yang berhubungan dengan listrik. Moga-moga saja sih tidak ada yang mati akibat typo ya. 

Makanya, saat ngeproof menurut saya sih harus benar-benar teliti. Nggak cuma typo dan EYD yang diurusin. Tapi juga mengkroscek, kalau-kalau pekerjaan editor soal konten masih berantakan. Proofreader berhak loh mengingatkan. 

Saya pernah menganalogikan begini; misalnya naskah itu adalah sebuah pakaian kotor yang dicuci manual oleh seorang editor. Kalau pakaian itu kotor sekali, tentu editor akan kewalahan mencucinya hingga bersih. Ia butuh merendam, menggilas, mengucek, sampai membilasnya berkali-kali. Lain halnya jika pakaian itu cuma kotor sedikit, mungkin hanya dengan 5 kali kucek sudah bisa kita bilas dan jemur.

Begitu pun dengan naskah yang--menurut standar tertentu--misalnya masih buruk. Dalam situasi begini, tentulah editor butuh kerja keras untuk mengamplasnya supaya jadi bagus. Editor berhak memberikan penawaran pengubahan kalimat, bahkan konten naskah. Tapi kebalikannya jika naskah yang diterimanya sudah rapi dan bagus. Editor tentu saja kegirangan karena bisa menyelesaikan tugasnya dengan cepat. 

Beda dengan proofreader. Misalkan saja, proofreader itu adalah seorang tukang setrika. Dia bertugas melicinkan pakaian sehabis dicuci. Jika masih ada noda, dia akan bisa melihat dan mengembalikannya ke tukang cuci. Urusan dia hanya menyetrika. Dan tak ada bedanya, menyetrika pakaian kotor ataupun bersih, bukan? Yang penting licin. Jika dia biasanya menyelesaikan satu pakaian bersih hanya dengan waktu dua menit saja, maka dua menit itu pula yang dia butuhkan untuk menyetrika satu pakaian kotor. Tak bisa dipercepat jika standarnya adalah licin. Kalau harus dipercepat, maka hasilnya pun tidak akan maksimal. 

Seperti ngeproof naskah. Baik itu sudah rapi ataupun banyak typo, seorang proofreader akan tetap membutuhkan waktu yang stabil. Dia butuh dengan cermat membaca kata per kata sampai benar-benar minim typo. Jika diminta lebih cepat dengan alasan naskah tersebut sudah rapi, ya tentu saja bisa, dengan risiko pekerjaannya tidak akan maksimal.

Iya, pekerjaan proofreader memang gampang kok. Cuma baca dan mengoreksi. Siapapun bisa melakukannya. Sungguh, tidak harus menghabiskan jutaan rupiah kuliah di jurusan bahasa, sekali lagi tidak harus, kamu saja bisa deh jadi proofreader. Asalkan ya ... itu syaratnya punya kemauan. 

Kemauan itu adalah kemauan untuk belajar, kemauan melatih kepekaan dan ketelitian, kemauan bertahan dalam kejenuhan membaca, kemauan bersabar menghadapi naskah, kemauan bolak balik buka kamus, kemauan melawan malas, kemauan menghilangkan sifat suka menyepelekan hal-hal kecil, kemauan untuk belajar menerima sindiran keras dari pembaca dengan hati yang lapang, dan kemauan-kemauan lainnya. 

Menurut saya, seseorang bisa menjadi proofreader yang baik pasti butuh proses. Kenapa butuh proses? Ya itu tadi untuk memenuhi syaratnya. Tidak cukup loh hanya karena suka baca lalu bisa ngeproof dengan baik. 

Orang yang tidak biasa ngeproof (apalagi jarang updet info bahasa) kemungkinan akan meloloskan kata-kata yang salah kaprah. Misalnya adalah kalimat: Adik menangkap cicak. 

Karena dari zaman baheula sudah biasa melihat kata "cicak" itu benar, maka ya sudah diloloskan saja. Padahal di KBBI sekarang "cicak" kata bakunya itu "cecak". Makanya butuh pengalaman untuk tahu mana yang sering salah kaprah. 

Dengan tugas proofreader yang begitu, saya kok ya suka sedih kalau masih ada orang yang menyepelekannya. Sudah bayaran kecil, ditegur kalau keliru-keliru, disepelekan lagi hahahaha. Kalau orang awam yang memandang kayak begitu aja saya suka sedih, meskipun dalam hati; it's oke, mungkin menggali emas dalam bumi aja gampang kok (padahal taruhannya nyawa). Karena orang tidak tahu, masak mau disalahkan? Tapi yang paling buat saya sedih adalah jika dari praktisi buku sendiri kadang menganggap tugas proofreader itu sepele. Remeh temeh. Murahan. Eits kata paling akhir itu bener sih, murahan, maksudnya dibayar murah meriah oleh beberapa penerbit.


Comments

Popular posts from this blog

Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan

Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani.  Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga.  Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee.  Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur.  Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat.  Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya

Garis Dua di Bulan April 2017

Empat tahun setengah, bukanlah waktu yang sebentar bagi kami yang kurang tabah ini menghadapi serangkaian pertanyaan tentang anak--mulai dari pertanyaan basa-basi, hingga sejumlah tuduhan menyakitkan yang kerap mampir membikin air mata tak tahan berderai-derai jatuh di sajadah.  Beruntungnya, suamiku tetap menggenggam tanganku erat, menguatkan di depan, meski aku tak tahu betul jika barangkali ia pun diam-diam memunggungiku untuk menahan tangis sendirian.  "Kita sudah berusaha, Dik, dengan sebaik-baiknya ..." bisiknya pelan, tiap kali aku mengadu.  Namun, saat hati terasa amat sakit mengingat tuduhan buruk yang bukan jadi kuasa kami, usai salat aku justru tak bisa berdoa. Aku menatap ke atas, diam, menangis pun tak sanggup. Lalu dengan pasrah, aku yang lemah hingga tak kuasa membungkam suara hati yang lepas begitu saja,  "Tuhan, tidakkah Kau melihat ini semua dari sana? Aku harus bagaimana?" Kan, yang tahu apa usaha kami hanya kami sendiri dan Tuhan

Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?

Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja.  Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT.  Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya.  Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toil