Skip to main content

Peristiwa Mario di toko boneka

Anak terakhir Mama sekarang udah kelas satu es-em-pe. Tinggal jauh dari rumah, dan mudiknya seminggu sekali aja. Ia bocah yang doyan banget nonton film kolosal, horor, dan sedikit aja kenal film kartun. Didukung lokasi rumah yang emang pelosok mentok, jadi ya chanel televisi itu terbatas banget.


Mama juga cuma akan duduk di depan televisi selepas isya, sinetronlover-lah, jadi ya nggak ada keharusan buat kenal acara lain, apalagi baca komik dan akses internet. Itu aktivitas yang pokoknya jauuuuh banget sama kebiasaan Mama. Jauh juga karena adik terakhirku itu nggak addict depan televisi. 
Di liburan kemarin, Mama melancong ke Jogja. Astaga bahasanya; melancong kayak tahun kapan gitu yah. Tapi serius, iya, Mama ke Jogja bareng Bapak. Rencananya dari Jogja mau nengok saudara di Boyolali. 



Jadilah aku pergi ke toko boneka buat cari oleh-oleh. Toko yang nggak besar-besar amat di sudut jalan. Mama juga ikut. Ia duduk di kursi depan kasir, melihatku bingung dengan pilihan yang cocok. Untung pembelinya cuma ada kami berdua, jadi nggak sumpek. 

"Ini lucu nggak Ma?" kataku, mengangkat boneka kucing yang lagi tengkurap. 
"Ah, bentuknya nggak jelas. Itu meong lagi ngapain sih?"
Oke, kutaruhlah boneka kucing malas itu. Aku lalu mengangkat boneka Spongbob—ada Petrik juga sih sebenernya, tapi kan judul filmnya Spongbob jadi ya aku nggak pilih Petrik. 
"Lah boneka apa itu? Kotak-kotak." teriak Mama mendeskripsikan si Spongbob. Spontan aku melirik ke arah Mbak-mbak Kasir yang tersenyum geli. Aku juga ikut tersenyum, malah ngakak. "Pilih boneka yang jelas-jelas ajalah. Yang bentuknya nyata" Jelasnya lagi. Maksud Mama, bentuk nyata itu maksudnya yang realis gitu. 
"Ya. Iki piye?" kataku, sambil mengangkat boneka katak warna ijo yang imut banget. 
"Hih. Kodok. Nggilanilah" Hah?
"Jerapah?"
"Jelek, terlalu kurus"
Jadilah aku menyerah. “Mario Bros ini lucu kan Ma?”
"Kumisnya tebel banget. Apa nanti nggak bikin takut, Nduk?" Suara Mama terdengar ragu-ragu. 
"Nggak papalah," kataku melemah. Udah capek. Maka kubawalah boneka Mario Bros sebagai pilihan terakhir ke depan kasir.
"Itu ada warna lain nggak? Jangan merah sama biru, kayaknya mencolok banget" celetuk Mama.
#Deg!
"Mario Bros kan warnanya emang ini, Bu" jelas Mbak Kasir, terlihat akan meledakkan tawanya. Ya ampun Mama, batinku. Betapa aku jadi ingin pulang ke rumah, menceritakan banyak hal yang indah-indah kepada Mama. 


Sempat dipublish di www.tikahkumala.tumblr.com / 12 November 2013

Comments

Popular posts from this blog

Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan

Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani.  Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga.  Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee.  Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur.  Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat.  Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya

Garis Dua di Bulan April 2017

Empat tahun setengah, bukanlah waktu yang sebentar bagi kami yang kurang tabah ini menghadapi serangkaian pertanyaan tentang anak--mulai dari pertanyaan basa-basi, hingga sejumlah tuduhan menyakitkan yang kerap mampir membikin air mata tak tahan berderai-derai jatuh di sajadah.  Beruntungnya, suamiku tetap menggenggam tanganku erat, menguatkan di depan, meski aku tak tahu betul jika barangkali ia pun diam-diam memunggungiku untuk menahan tangis sendirian.  "Kita sudah berusaha, Dik, dengan sebaik-baiknya ..." bisiknya pelan, tiap kali aku mengadu.  Namun, saat hati terasa amat sakit mengingat tuduhan buruk yang bukan jadi kuasa kami, usai salat aku justru tak bisa berdoa. Aku menatap ke atas, diam, menangis pun tak sanggup. Lalu dengan pasrah, aku yang lemah hingga tak kuasa membungkam suara hati yang lepas begitu saja,  "Tuhan, tidakkah Kau melihat ini semua dari sana? Aku harus bagaimana?" Kan, yang tahu apa usaha kami hanya kami sendiri dan Tuhan

Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?

Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja.  Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT.  Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya.  Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toil