Skip to main content

Hutan Persembunyian Kami

Hutan bagiku adalah kenangan masa kecil yang rasanya pedas, asam, sekaligus manis. 


Di masa-masa sulit dulu, kami harus menempuh hutan berbukit demi sampai ke rumah Nenek. Dalam ingatanku, hutan adalah rumah kalajengking, ular berbisa, ayam alas, dan hantu jelmaan siluman. Lebih dari itu, aku pernah melihat Mama pingsan di jalan setapak menuju lereng bukit. (Mama memang sering sekali pingsan ketika menghadapi masalah berat. Mungkinkah, waktu itu Mama hendak mengadu ke orangtuanya? AH. Aku tidak pernah tahu, tidak, sampai kutemukan ilmu kira-kira ini.)

Kalau tidak melewati hutan, barangkali aku pun tak punya kenangan indah tentang nyanyian semilir angin. Aku naik ke ranting pohon karet yang tiga kali lipat tinggi badanku. Semut-semut menggigit. Dan, aku tak peduli. Sebab tahu di atas sana, angin akan mengayun-ayun, membawaku jauh ke lamunan masa depan indah. 

Kau pernah melihat kereta sandal jepit?
Tidak? Ah, ya. Jelas saja kau tidak tahu. 
Tentang kereta sandal jepit itu. Dulu, kami sering membuatnya untuk Adik supaya dia berhenti merengek minta gendong. (Sebenarnya ini hanya akal-akalan Bapak.) Jadi, semua sandal kami disatukan, diikat dengan tanaman rambat, lalu ditarik oleh Adik sepanjang jalan setapak menuju rumah Nenek. 

Ini jelas sangat melegakan. 

Sebenarnya, karena jalanan licin, kami harus melepas sandal dan menentengnya sampai sungai kecil dekat desa. Kalau tidak ada akal-akalan kereta sandal, maka menenteng sandal sambil berlari dari satu pohon ke pohon lainnya demi membuat bola karet itu sangat merepotkan. Hemmm ... tiba-tiba aku kangen melewati hutan itu lagi. Hutan yang jalan setapaknya kini telah hilang karena pipi bukitnya longsor besar di tahun silam. 

Apa Mas pernah memiliki kenangan tentang hutan? Tanyaku kepada suami. Dia menggeleng. Anak pantai yang telah dua tahun seatap denganku ini jelas hanya memiliki masa kecil tentang tambak ikan, air asin, dan garam yang melimpah di sekitar rumahnya. Aku hanya mengira-ngira, barangkali ia pun pernah memiliki imajinasi sendiri tentang hutan. Pernahkah ia berkhayal tengah menjelajahi hutan lalu tersesat? Atau, pernahkah ia ingin berlari ke hutan dan bersembunyi dari musuh? Kami tidak pernah berbincang tentang itu. Tapi, ketika tanaman markisa peliharaannya memenuhi halaman rumah kami, aku tahu bahwa ada hutan yang sedang dibangunnya. 

Tanaman markisa itu, benar-benar menutupi wajah rumah kami. Begitu rimbun, hingga matahari hanya mengintip dari sela-selanya. Kadang, aku takut akan ada ular merambat lalu turun ke kamar kami. Bukankah semua bisa saja terjadi? Tapi, suami selalu menenangkan. Tidak ada ular, Dik, tidak ada. Katanya. (Sampai saat ini, aku terpaksa percaya kepada lelaki yang bahkan tidak memiliki pengalaman melewati hutan. Di mana hutan biasanya menyimpan ratusan bahkan ribuan ular dengan berbagai jenisnya). 

Kini. Halaman rumah kami menjelma hutan imajinasi. Ketika kami duduk di muka pintu depan, matahari tidak bisa mengganggu. Bahkan, kami seperti sedang bersembunyi dan mengintip orang di luar pagar berjalan tanpa melihat kami. 

Ya, hutan kami. Hutan yang tumbuh di perumahan padat penduduk. 

Suatu senja saat aku duduk sendiri, aku tidak merasa sepi sebab kenangan masa kecil berlarian di halaman rumah kami. Mungkinkah suamiku menumbuhkan hutan untuk ini semua? Atau, ia sebenarnya rindu memliki hutan untuk bersembunyi dari segala kepenatan. 

"Duh Dik, rasanya Mas pengin menyirami bunga-bunga terus. Seger. Bikin kepala juga seger" Teriaknya. Padahal hujan hampir datang. Dan aku menulisnya ketika gerimis telah bernyanyi di atap rumah kami. 

Comments

Popular posts from this blog

Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan

Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani.  Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga.  Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee.  Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur.  Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat.  Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya

Garis Dua di Bulan April 2017

Empat tahun setengah, bukanlah waktu yang sebentar bagi kami yang kurang tabah ini menghadapi serangkaian pertanyaan tentang anak--mulai dari pertanyaan basa-basi, hingga sejumlah tuduhan menyakitkan yang kerap mampir membikin air mata tak tahan berderai-derai jatuh di sajadah.  Beruntungnya, suamiku tetap menggenggam tanganku erat, menguatkan di depan, meski aku tak tahu betul jika barangkali ia pun diam-diam memunggungiku untuk menahan tangis sendirian.  "Kita sudah berusaha, Dik, dengan sebaik-baiknya ..." bisiknya pelan, tiap kali aku mengadu.  Namun, saat hati terasa amat sakit mengingat tuduhan buruk yang bukan jadi kuasa kami, usai salat aku justru tak bisa berdoa. Aku menatap ke atas, diam, menangis pun tak sanggup. Lalu dengan pasrah, aku yang lemah hingga tak kuasa membungkam suara hati yang lepas begitu saja,  "Tuhan, tidakkah Kau melihat ini semua dari sana? Aku harus bagaimana?" Kan, yang tahu apa usaha kami hanya kami sendiri dan Tuhan

Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?

Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja.  Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT.  Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya.  Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toil