Skip to main content

Ngopi Yuk, Dik

Setiap minta dibikinkan kopi, suami hanya akan bilang "Ngopi yuk, Dik". Tanpa tambahan lain. 

Rada janggal kan, coba kalau saya lagi nggak pengin ngopi. Otomatis akan saya jawab, "Nggak ah" dan nggak akan tersedia kopi. Harusnya sih begitu. Tapi nyatanya itu tidak berlaku di sini. 

Jadi, ketika suami mengatakan kalimat ajaib tersebut, maka dengan sendirinya saya akan menganggukan kepala, menuju dapur, dan menghidangkan segelas kopi untuk dia. (Tak peduli apakah saya ikut ngopi atau tidak. Tak perlu mikir dua kali, apakah itu artinya dia ngajak kencan di coffe shop atau di luar rumah. Nggak boleh mikir begitu. Pokoknya "Ngopi yuk Dik" hanya berlaku di rumah, yang artinya "Bikinin kopi dong".)

Nah, tapi pagi ini, dia mengubah kalimatnya sendiri. Ia bilang : Adik, udah ngopi? Jelas saja saya jawab belum, lah wong emang cuma membuat segelas jeniper. Maka, selesai pertanyaan itu, saya pun tetap anteng menghadap laptop.

Sampai kira-kira sejam kemudian, suami muncul di muka pintu kamar kerja saya. Ia melongok ke isi gelas saya dengan cepat. "Loh, Adik nggak ngopi?" tanyanya aneh. Sebelum sempat saya jawab, ia melanjutkan kalimatnya "Trus, kopi Mas kenapa belum dibuat?" Jederrr! Hihihihihi nah lo, kena juga batunya kan, kalau nggak konsisten. Niat hati mau nyerobot kopi orang, tapi yang didapat malah zong.

Tapi saya cukup menikmati setiap keanehan laki-laki ini. Dari pada dia teriak "Kopinya satu ya", itu kan mirip teriakan yang ada di burjoan. Lah, saya istrinya je. Jadi ya, inilah perintahnya yang lumayan manis untuk didengar. "Ngopi yuk, Dik" 

Comments

Popular posts from this blog

Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan

Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani.  Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga.  Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee.  Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur.  Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat.  Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya

Garis Dua di Bulan April 2017

Empat tahun setengah, bukanlah waktu yang sebentar bagi kami yang kurang tabah ini menghadapi serangkaian pertanyaan tentang anak--mulai dari pertanyaan basa-basi, hingga sejumlah tuduhan menyakitkan yang kerap mampir membikin air mata tak tahan berderai-derai jatuh di sajadah.  Beruntungnya, suamiku tetap menggenggam tanganku erat, menguatkan di depan, meski aku tak tahu betul jika barangkali ia pun diam-diam memunggungiku untuk menahan tangis sendirian.  "Kita sudah berusaha, Dik, dengan sebaik-baiknya ..." bisiknya pelan, tiap kali aku mengadu.  Namun, saat hati terasa amat sakit mengingat tuduhan buruk yang bukan jadi kuasa kami, usai salat aku justru tak bisa berdoa. Aku menatap ke atas, diam, menangis pun tak sanggup. Lalu dengan pasrah, aku yang lemah hingga tak kuasa membungkam suara hati yang lepas begitu saja,  "Tuhan, tidakkah Kau melihat ini semua dari sana? Aku harus bagaimana?" Kan, yang tahu apa usaha kami hanya kami sendiri dan Tuhan

Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?

Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja.  Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT.  Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya.  Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toil