Skip to main content

Burung-burung dari Negeri Dongeng #1

Bahwa sebenarnya kita tahu jika burung akan terbang setelah dilepaskan, dan ketika ditahan-tahan dalam sangkarnya, kita tidak pernah tahu apakah ia bertahan hidup dengan bahagia. 

Mungkinkah kepergianmu karena merasa tidak bahagia? Ah, kita memang luput saling bertanya: bahagiakah kita waktu itu? Saat kita memiliki mimpi-mimpi yang begitu serius kita gambari pada tembok-tembok kamar kos. 


"Aku ingin jadi editor buku" kataku. 
Kamu hanya tersenyum sambil mengelus rambutku sebentar dengan tatapan teduh yang sebenarnya tidak aku sukai. Kamu pun kembali memandangi senja yang kemerah-merahan di pucuk kubah masjid kampus. Kita hanya diam setelah itu. Aku pikir keinginanku yang ini memang berlebihan. Bagaimana mungkin berani bermimpi, kalau menulis saja baru permulaan. Tapi kamu sendiri memiliki banyak sekali mimpi yang kelewat tinggi sejak aku mengenalmu sebagai mahasiswa baru. Jadi, salahnya apa dengan menjadi seorang editor? 

"Tidak ada yang salah. Kita boleh memimpikan apa saja" katamu. "Kalau tidak memiliki mimpi, itu justru lebih mengerikan." 

Ya. Kamu memang lelaki yang tidak pernah protes dengan keinginanku yang banyak. Dan aku tidak pernah menyadari bahwa itu menjadi beban bagimu. 
Setiap hari, ya hampir setiap hari kamu menunjukan bahwa ada banyak cara supaya aku berhasil. Aku yakin sekali, kamu memikirkannya semalaman. Kamu tipe lelaki pemikir yang sulit aku tebak seberapa dalam pikiranmu. 

Kamu bilang, ada baiknya aku menulis untuk lomba. Dengan begitu aku akan termotivasi untuk menulis. Maka aku pun tak punya alasan untuk membantah. 

Kamu bilang, aku harus mulai menyusun jadwal menulis dan mengirimkannya ke media. Dengan mengirimkan ke media, kita ini katamu akan selalu merasa kaya karena memiliki tabungan karya. Maka setiap hari Kamis, kita pergi bersama-sama ke kantor pos untuk mengirimkan harapan tersebut. (Aku yakin setelah beberapa kali aku absen, kamu tetap konsisten untuk menabungkan impianmu). 

Kamu bilang, aku harus bergaul dengan senior-senior editor supaya bisa belajar lebih baik. Lalu tanpa aku minta, kamu memberikan beberapa kontak editor kenalanmu (yang akhirnya tidak pernah aku hubungi). Aku benar-benar berhenti menuruti saranmu, saat kamu ingin berlari kencang bersama-sama. Itulah kenapa aku maklum ketika akhirnya kamu kelelahan. Kamu menyerah. Kamu membenci langkahku yang bagimu begitu lambat. 

Aku pikir, kamu adalah sandaran paling tangguh yang mampu menampung segala cerita-ceritaku. Tapi kepalamu pun ternyata punya volume yang akan tumpah-tumpah isinya. Makanya kamu menagih pundakku untuk bersandar, tapi waktu itu kita justru oleng bersama-sama. Apakah itu salahku? Tak bolehkah aku jujur bahwa di saat yang tidak tepat, seseorang tidak bisa jadi sandaran. Apakah kita harus berpura-pura selalu tangguh? Apakah dalam sebuah hubungan tak cukup satu saja yang jadi kuat? Kamu bilang itu tidak adil. Lalu bagaimana aku menuruti keadilan versimu, jika dari semula kupikir tak perlu ada ganti rugi. 

Ah, kiranya perasaanku ini telah tepat ketika memutuskan untuk tidak menyukai matamu. Awalnya, kupikir karena aku takut jatuh cinta. Tapi ternyata ini soal lain. Sorot matamu itu terus berubah-ubah. Kamu mengubah kita, mengubah tatapanmu jadi sedingin gigil subuh. 

Kamu sinis mengatakan aku akan terbang seperti burung pipit yang lupa diri setelah dirawat dengan baik. Tapi apakah aku pergi? Bukankah aku tak kemana-mana. Justru kamu yang begitu saja pergi karena sebuah perdebatan yang sama sekali tidak dewasa  untuk membuat dua manusia dewasa saling membenci. 

Comments

Popular posts from this blog

Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan

Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani.  Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga.  Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee.  Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur.  Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat.  Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya

Garis Dua di Bulan April 2017

Empat tahun setengah, bukanlah waktu yang sebentar bagi kami yang kurang tabah ini menghadapi serangkaian pertanyaan tentang anak--mulai dari pertanyaan basa-basi, hingga sejumlah tuduhan menyakitkan yang kerap mampir membikin air mata tak tahan berderai-derai jatuh di sajadah.  Beruntungnya, suamiku tetap menggenggam tanganku erat, menguatkan di depan, meski aku tak tahu betul jika barangkali ia pun diam-diam memunggungiku untuk menahan tangis sendirian.  "Kita sudah berusaha, Dik, dengan sebaik-baiknya ..." bisiknya pelan, tiap kali aku mengadu.  Namun, saat hati terasa amat sakit mengingat tuduhan buruk yang bukan jadi kuasa kami, usai salat aku justru tak bisa berdoa. Aku menatap ke atas, diam, menangis pun tak sanggup. Lalu dengan pasrah, aku yang lemah hingga tak kuasa membungkam suara hati yang lepas begitu saja,  "Tuhan, tidakkah Kau melihat ini semua dari sana? Aku harus bagaimana?" Kan, yang tahu apa usaha kami hanya kami sendiri dan Tuhan

Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?

Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja.  Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT.  Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya.  Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toil