Skip to main content

Uang bulanan (palsu), hadiah romantis dan setumpuk utang bayangan

Cerita ini cukup nyinyir sih. Tapi perlu saya catat. Semoga yang punya kisah tersebut ikhlas pengalamannya jadi bahan evaluasi para pasangan suami istri. 

Jadi begini, sebenarnya masih berlaku nggak sih aturan main "uang istri hak istri, uang suami sebagian adalah hak istrinya". Kalau misalnya aturan itu sengaja atau bahkan tidak sadar dilanggar, kira-kira pelakunya dosa nggak ya? Tapi bagaimana kalau prinsipnya adalah uang istri ataupun suami menjadi milik bersama. Istri berkewajiban mengurus suami, tapi kewajiban nafkahin keluar bagi suami adalah urusan bersama. Bujubuneng. Sering dengar cerita begituan kan? Iya banget. Mau dicurhatin temen, nonton sinetron, layar lebar sampai teater, temanya nggak jauh beda. Pokoknya, sejak para istri berani meninggalkan rumah untuk cari duit, para suami juga berani mengklaim bahwa gaji istrinya adalah milik bersama. Kampret nggak sih?


Ladies Talks
Seorang teman curhat kalau suaminya royal banget memberikan hadiah mahal sama dia. Bahagia bukan? Emangnya perempuan mana sih yang nggak happy dapat hadiah? Tapi ternyata temen saya itu justru merasa dongkol setengah mati. 

Menurut cerita, dia sering dibelikan jam kw super, handphone, perhiasan, tas branded sampai baju keluaran butik. Dari hadiah-hadiah tersebut, banyak rekannya yang menilai bahwa suaminya itu sangat perhatian. Beruntung sekali lah punya suami yang kayak begitu. Kehidupan rumah tangga mereka jadi tampak sangat harmonis. Kalau suami udah pandai mencukupi kebutuhan istri, mau cari apa lagi coba? Kebahagiaan itu harusnya komplit. 

Tapi bagaimana mau komplit kalau hadiah-hadiah tersebut ternyata hasil dari ngutang sana sini. Bahkan uang bulanan yang harusnya berlabel nafkah juga lebih banyak ngutangnya daripada hasil kerja sendiri. Kata temen saya, suaminya emang kerja serabutan. Kadang uangnya banyak, lebih sering dompetnya kering. Tapi apa iya gayanya itu harus sesongong itu. Bergaya dompet tebal, tapi isi dompetnya milik orang lain. 

Jadi ketika temen saya itu gajian, dengan wajah tanpa bersalah suaminya akan bilang "Ma, kita punya utang ke Mbak Sugih loh". Hah? Utang apa? Buat apa? Rasanya temen saya itu pengin bilang: Trus itu masalah gueh? Situ kan yang ngutang. (Dannnn, kalau sampai keceplosan njawab begitu, sudah pasti akan kembali terjadi perang badar). Suaminya akan bilang, "Lah, uang itu kan yang dulu kukasih kamu, Ma?" atau "Uang itu juga kamu yang pakai (buat urusan dapur)." Iya, uang yang dikira temen saya itu adalah nafkah lahir dari suami tercinta. Tapi ternyata duit utangan. Dongkol nggak sih. Dia dikasih hadiah, uang bulanan (palsu) dan setumpuk utang bayangan. Jadi, mau gimana lagi? Akhirnya, mau nggak mau duit anget dari si bos yaitu duit hasil keringat si istri, harus rela melayang untuk bayar utang tersebut. 

Temen saya bilang : Kalau begini sih, namanya menafkahi diri sendiri. Tapi nggak kelihatan. Lah yang tampak emang suamiku ngasih duit tiap bulan, hadiah ini itu selalu lancar. Meskipun ya kalau boleh ngaku pinter sedikit, bukankah secara nggak langsung, itu uangku sendiri. Suamiku ngasih duit bulanan hasil utangan, tapi di akhir bulan aku juga yang bayar utangnya. Kurang ajar nggak sih. 

Kemudian hening. Saya sendiri bingung. Jadi, kalau begini kasusnya hukumnya bagaimana coba? Katanya seorang istri harus pinter, tapi kalau yang 'minteri' suami sendiri mau bagaimana nuntutnya?

Comments

Popular posts from this blog

Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan

Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani.  Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga.  Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee.  Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur.  Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat.  Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya

Garis Dua di Bulan April 2017

Empat tahun setengah, bukanlah waktu yang sebentar bagi kami yang kurang tabah ini menghadapi serangkaian pertanyaan tentang anak--mulai dari pertanyaan basa-basi, hingga sejumlah tuduhan menyakitkan yang kerap mampir membikin air mata tak tahan berderai-derai jatuh di sajadah.  Beruntungnya, suamiku tetap menggenggam tanganku erat, menguatkan di depan, meski aku tak tahu betul jika barangkali ia pun diam-diam memunggungiku untuk menahan tangis sendirian.  "Kita sudah berusaha, Dik, dengan sebaik-baiknya ..." bisiknya pelan, tiap kali aku mengadu.  Namun, saat hati terasa amat sakit mengingat tuduhan buruk yang bukan jadi kuasa kami, usai salat aku justru tak bisa berdoa. Aku menatap ke atas, diam, menangis pun tak sanggup. Lalu dengan pasrah, aku yang lemah hingga tak kuasa membungkam suara hati yang lepas begitu saja,  "Tuhan, tidakkah Kau melihat ini semua dari sana? Aku harus bagaimana?" Kan, yang tahu apa usaha kami hanya kami sendiri dan Tuhan

Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?

Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja.  Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT.  Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya.  Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toil