Skip to main content

Casimira, Where are You? Aku Kangen Beraaaattt

Aku sengaja tidak pergi kemanapun selepas pulang dari kantor. Hanya memarkir Casimira yang diam dan benar-benar diam di garasi rumah. 

Saat itu, aku merasa tidak perlu memahami apakah dia sedang marah, terluka, atau bersedih hebat akibat keputusanku untuk menjualnya. Toh, dia hanya mesin tua yang suka ngambek. Mesin yang sangat rumit dipahami melebihi rumitnya memahami laki-laki kena PMS. Harusnya dengan kenyataan itu aku bisa sangat mudah melepas Casimira. Tapi ternyata tidak. Aku nyatanya terlalu sedih untuk bisa memahami bagaimana keadaan perasaannya yang sensitif. Maka, pukul 10 malam, aku memaksakan diri bangun dari tempat tidur, berjalan ke garasi rumah, memeluknya lamaaaaaa sekali. Aku tidak tahan untuk tidak menangis. Meski hanya mesin tua, tapi sungguh, Casimira itu spesial. Sangat spesial bagi hidupku. Penyelamatku. Teman kemana pun aku pergi. Dengan hubungan yang ganjil seperti ini, bagaimana mungkin aku bisa gampang melepaskannya pergi? Mana mungkin? Tapi semuanya sudah tidak bisa ditawar. Ini demi keluarga. Demi keluargaku, Casimira harus berkorban. 

"Kenapa sih manusia suka semena-mena sama mesin tua yang tinggal nunggu pensiunnya ini?" Tiba-tiba ocehan Casimira kembali terngiang di telinga. 

Ah, Casimira yang malang. Sungguh malang. Sudah berbulan-bulan kuperlakukan tidak layak, kini harus pula menanggung beban manusia. Untung waktu itu aku belum gendutan. (Eh. apaan sih ini. )

Maka pagi harinya, Casimira melaju ke stasiun bersama suamiku. Dia dipack, dan dipulangkan ke Cilacap, ke kota kelahiran kami. Dalam perjalanannya itu, aku terus berdoa, mendoakan bahwa siapapun pemiliknya nanti, dia akan jauh lebih dicintai. Casimiraku, ya Allah Casimira. 

Sampai suatu hari, aku pulang ke Cilacap. Kagetlah aku, ternyataaaaaa Casimira ada di rumah dan melempar senyum jail saat melihatku datang. Aku mengelus kepalanya sebentar dan tidak banyak berinteraksi. 

Dari cerita Mama, Casimira sengaja dipertahankan dan motor adikkulah yang terpaksa harus dijual. Pantesan dia semringah. 

Tapi jangan senang dulu, Cas, batinku. Setelah aku lepaskan, nasibmu masih abu-abu selama berada di sini. 

Dan, benarlah. Casimira ternyata berjodoh kembali dengan Jogja. Ia dibawa adikku untuk mengganti motornya yang dijual. Pasti Casimira sangat senang. Dia kan cinta mati sama jalanan Jogja. Dia sendiri yang suka ngoceh kalau lagi aku naikin. Tapi, siapa pula yang tahu nasib suatu barang. Lepas dari manusia satu, akan beda pula nasibnya. 

Belum sebulan di Jogja, dia sudah dititipkan di tempat gadai motor. Berbulan-bulan pula lamanya. Tak heran, jika aku jadi makin sering memimpikannya. Tapi mau bagaimana lagi, waktu itu aku serius enggak bisa membantunya kabur. 

Lalu, setelah ditebus pulang, adikku kembali mengantarkan Casimira ke pegadaian. Kampreeeet. Kali ini, barangkali Casimira sudah pasrah. Seperti pasrahku, bahwa tanpa kehadiran Casimira gerakku jadi sangat terbatas. Aku seperti dipenjara tanpa punya kebebasan kemana-mana. 

Sampai suatu hari, aku mendengar bahwa Casimira tidak akan dijemput pulang. Oh, malangnya kamu Nak. Maafkan aku yang tidak sempat mengucapkan kata pisah dan menolongmu pergi dari tempat semacam itu. Semogaaaaa kebahagiaan menyertaimu. Semoga tuan barumu lebih bersihan, dan enggak telat-telatan nyervisin kamu, ya. Amin. 

Comments

Post a Comment

Komentar dengan menyertakan link hidup akan saya hapus. Maaf ya....

Popular posts from this blog

Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan

Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani.  Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga.  Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee.  Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur.  Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat.  Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya

Garis Dua di Bulan April 2017

Empat tahun setengah, bukanlah waktu yang sebentar bagi kami yang kurang tabah ini menghadapi serangkaian pertanyaan tentang anak--mulai dari pertanyaan basa-basi, hingga sejumlah tuduhan menyakitkan yang kerap mampir membikin air mata tak tahan berderai-derai jatuh di sajadah.  Beruntungnya, suamiku tetap menggenggam tanganku erat, menguatkan di depan, meski aku tak tahu betul jika barangkali ia pun diam-diam memunggungiku untuk menahan tangis sendirian.  "Kita sudah berusaha, Dik, dengan sebaik-baiknya ..." bisiknya pelan, tiap kali aku mengadu.  Namun, saat hati terasa amat sakit mengingat tuduhan buruk yang bukan jadi kuasa kami, usai salat aku justru tak bisa berdoa. Aku menatap ke atas, diam, menangis pun tak sanggup. Lalu dengan pasrah, aku yang lemah hingga tak kuasa membungkam suara hati yang lepas begitu saja,  "Tuhan, tidakkah Kau melihat ini semua dari sana? Aku harus bagaimana?" Kan, yang tahu apa usaha kami hanya kami sendiri dan Tuhan

Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?

Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja.  Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT.  Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya.  Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toil