Skip to main content

Mengubah blogspot jadi domain berbayar

Penting enggak sih punya domain sendiri? Jawabannya tentu subjektif banget ya. Ada yang kekeuh memakai blogspot dan wordpress, tapi ada pula yang mempersuasi pakai domain berbayar biar kesannya jadi profesional. Ah profesional, padahal yang pakai domain gratisan juga banyak yang lebih keren kok dibanding yang sok profesional. 

Buat saya pribadi, mau pakai blogspot atau domain sendiri, itu hanya soal pilihan. 

Dulu saya pengin banget punya web sendiri. Tapi sayangnya istilah domain dan hosting aja enggak ngerti. Lalu setelah saya tanya-tanya, ujungnya malah bimbang sendiri buat punya domain dan hosting pribadi. Bimbang kalau selanjutnya enggak bisa bayar, bagaimana? Bimbang karena blog ini sudah lumayan banyak isinya kok malah membangun rumah baru. Bimbang karena denger-denger web itu pakai quota ya, jadi bakalan berat dibuka kalau isinya kebanyakan. Bimbang, karena khawatir kalau kelak enggak dibayar semua isinya akan hilang. Dan banyak lagi kekhawatiran lainnya. Sebenarnya saya enggak paham banget sih soal web. 

Sampai suatu hari, adik saya bilang kalau alamat blog saya bisa diubah dengan menghilangkan kata "blogspot"nya. Itu saya masih ragu. Masa sih? Jangan-jangan pakai cara enggak bener tuh. Ilegal.

Tapi saya jadi penasaran. Maka, saya googling dan ternyata prosesnya sama aja sih. Beli domain berbayar, lalu dikawinkan dengan blog yang sudah ada. Legal bok! Tahu begitu, saya ngiler bangeeeeeet jadinya. Secara, alamat dengan blog gratisan kan panjang banget. Suka ngabisin karakter kalau ngetwit. Ya, sesimple itu sih pengin mengubah blogspot, ke domain pribadi. Sebelum dibeli orang tentunya. 

Pas mau beli domain, saya tanya sama temen, "Kalau kelak aku mati, terus anak cucuku enggak gemati sama blogku sampai enggak dibayar, apakah semua tulisanku bakalan hilang?" Ia jawab enggak. Ketika saya enggak bayar, otomatis blog ini akan berubah ke alamat semula. Jadi saya enggak perlu khawatir kalau tiba-tiba saja isi blog ini akan lenyap dari dunia maya. 

Ya, dengan alasan begitu, saya mantap mengubah alamat blog ini menjadi lebih pendek. Cukup tikahkumala.com. Pendek kan? 

Caranya simple kok, kalau kamu tertarik tinggal beli aja domain yang kamu mau. Setelah itu, berkomunikasilah via kontak yang ada di web penjualnya. Minta dituntun. Abis itu, jadi deh. 

Tapi saya enggak tahu, apa risiko dan kelemahan dari blog yang dikawinkan begini. Mungkin kamu tahu?

Comments

Popular posts from this blog

Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan

Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani.  Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga.  Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee.  Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur.  Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat.  Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya

Garis Dua di Bulan April 2017

Empat tahun setengah, bukanlah waktu yang sebentar bagi kami yang kurang tabah ini menghadapi serangkaian pertanyaan tentang anak--mulai dari pertanyaan basa-basi, hingga sejumlah tuduhan menyakitkan yang kerap mampir membikin air mata tak tahan berderai-derai jatuh di sajadah.  Beruntungnya, suamiku tetap menggenggam tanganku erat, menguatkan di depan, meski aku tak tahu betul jika barangkali ia pun diam-diam memunggungiku untuk menahan tangis sendirian.  "Kita sudah berusaha, Dik, dengan sebaik-baiknya ..." bisiknya pelan, tiap kali aku mengadu.  Namun, saat hati terasa amat sakit mengingat tuduhan buruk yang bukan jadi kuasa kami, usai salat aku justru tak bisa berdoa. Aku menatap ke atas, diam, menangis pun tak sanggup. Lalu dengan pasrah, aku yang lemah hingga tak kuasa membungkam suara hati yang lepas begitu saja,  "Tuhan, tidakkah Kau melihat ini semua dari sana? Aku harus bagaimana?" Kan, yang tahu apa usaha kami hanya kami sendiri dan Tuhan

Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?

Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja.  Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT.  Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya.  Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toil