Skip to main content

Saat lelah dan memilih pergi

Kalender di ruang kerjamu masih menunjukan bulan yang sama pada tahun yang sama pula. Empat purnama lamanya.  Harusnya, 11 hari lalu kalender ini kuganti dengan yang baru. Tahun baru. Cerita baru? 

Ah, mungkinkah?


Seperti kalender yang berhenti dibuka, cerita kita pun rasanya sama sekali belum selesai. Hanya menggantung tak rampung. Tidak jelas. Tidak tahu bagaimana mengakhirinya. 


Aku sengaja tak menyentuh apapun lagi di ruangan ini. Juga asbak batu yang masih menampung putung-putung rokok terakhirmu, foto kita dalam figura, buku-buku lama, sofa tempat kita berciuman dan meja kaca yang kini dihuni debu-debu dari fentilasi. Aku hanya sesekali membuka pintunya, lalu kembali dengan dada yang penuh. 


Betapa senyap ruangan ini. 


Biasanya, kamu selalu memutar musik lawasan dengan keras tanpa peduli apakah aku suka atau tidak, berteriak minta ini itu tanpa peduli aku keberatan atau tidak, menghabiskan berbatang-batang rokok sampai batuk, tanpa peduli bahwa perbuatanmu mengancamku. 


Ah, rasanya ada 1002 alasanku untuk protes. Tapi tak bisa. Kamu bukan tipikal lelaki yang mau dikritik. Maka lakukanlah. Terserah. Seperti aku menyerah berharap jika kita bisa berbagi cerita dengan leluasa. Sesuatu yang tak mungkin.  Sebab yang ada, kita selalu berakhir dengan memberi sakit satu sama lain. 


Seperti saat itu, ketika aku terlambat datang ke restoran yang kamu pesan untuk merayakan hari jadi kita. Lima menit saja, berbuntut perdebatan sepanjang malam. Sesuatu yang sangat sepele, tapi membuat perasaanku ngilu bukan main. 


"Kita hanya butuh jarak" katamu yang pergi sehabis membanting gelas kopi di hari yang masih begitu pagi. 


Mungkinkah, kamu lelah dengan aku yang selalu salah? Sebab, tanpa mau kuakui, sebenarnya hatiku pun tak mampu lagi bertahan kerna merasa tak pernah benar di matamu. 


*Cerita ini ditulis dalam sekali duduk, setelah berkali-kali mendengarkan cerpennya Avianti Armand dibacakan oleh Nadia: Tentang Tak Ada, bagian Pergi dan Pulang"

Comments

Popular posts from this blog

Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan

Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani.  Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga.  Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee.  Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur.  Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat.  Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya

Garis Dua di Bulan April 2017

Empat tahun setengah, bukanlah waktu yang sebentar bagi kami yang kurang tabah ini menghadapi serangkaian pertanyaan tentang anak--mulai dari pertanyaan basa-basi, hingga sejumlah tuduhan menyakitkan yang kerap mampir membikin air mata tak tahan berderai-derai jatuh di sajadah.  Beruntungnya, suamiku tetap menggenggam tanganku erat, menguatkan di depan, meski aku tak tahu betul jika barangkali ia pun diam-diam memunggungiku untuk menahan tangis sendirian.  "Kita sudah berusaha, Dik, dengan sebaik-baiknya ..." bisiknya pelan, tiap kali aku mengadu.  Namun, saat hati terasa amat sakit mengingat tuduhan buruk yang bukan jadi kuasa kami, usai salat aku justru tak bisa berdoa. Aku menatap ke atas, diam, menangis pun tak sanggup. Lalu dengan pasrah, aku yang lemah hingga tak kuasa membungkam suara hati yang lepas begitu saja,  "Tuhan, tidakkah Kau melihat ini semua dari sana? Aku harus bagaimana?" Kan, yang tahu apa usaha kami hanya kami sendiri dan Tuhan

Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?

Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja.  Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT.  Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya.  Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toil