Skip to main content

Ketika Kamu Pergi, Mungkin Matahari Tidak Akan Kembali Lagi.

Aku membuka kembali kain putih yang menutupi wajahmu. Pucat. Seperti perasaanku yang kini tak punya warna lagi. 

Bibirku terasa bergerak sedikit. Membentuk senyum paling sederhana yang masih bisa kulakukan. Membuat orang-orang di sekitarmu menatapku heran. Mungkin karena tak sewajarnya aku begini. Bahwa yang wajar bagi mereka ialah kesedihan, isak tangis untukmu,  mata bengkak, hidung merah dengan wajah yang lebih pucat dari wajahmu.Tapi aku tak mau. Bukan karena kepergianmu membuatku bahagia, tapi aku tahu, satu-satunya cara membuatmu bahagia adalah melihatku seperti ini. 

Maka aku tersenyum lagi. Dan aku memang selalu tersenyum jika melihat wajahmu yang pulas tertidur. 
"Kenapa?" tanyamu, suatu hari. 
Aku sengaja tidak menjawab. Dan kamu akan memonyongkan bibir, menarikku ke dalam pelukan lalu kita lepaskan segala beban. Selalu seperti itu. Kamu tidak pernah benar-benar mau tahu alasanku. Dan ini tetap jadi rahasia bahwa sebenarnya hanya ketika kamu tidur, kamu berhenti bicara, berhenti memberi ngilu dengan kata-katamu, berhenti membuat dadaku penuh dengan segala amarahmu, berhenti membuat pikiranku luap dengan teori-teorimu. Hanya dengan begitu, ada cinta yang menggebu-gebu kepadamu. 

"Apakah kita masih saling mencintai?" tanyamu beberapa hari lalu. Aku mengangguk pelan, tak yakin. Pun kamu yang memandang jauh ke arah matahari turun. Sama-sama tak yakin. 

Sebenarnya aku sudah lama menyadari bahwa kita mengalami kejenuhan akut. Sebuah hubungan yang berada di titik jenuh, akan tampak datar ketika kita duduk berduaan. Sama sekali tidak menarik. Membosankan. Ada saja yang membuat kita ingin pergi. Tapi, kamu tidak salah. Kita sudah berusaha bahagia. Kamu begitu rupa mengusahakan kebahagiaan itu kembali lagi dengan mengajakku ke pantai, liburan ke Bali, makan di tempat-tempat romantis, atau sekadar menginap di kamar murah pinggir kota. Kamu memang laki-laki yang keras kepala demi kita. Meski sebenarnya, aku ingin berkata dengan lirih ; berhentilah. Kita sudah terlalu lelah. Pergilah. Dan sekarang, kamu benar-benar pergi. 

Sesuatu yang mengerikan terjadi. Aku tidak pernah membayangkan kamu benar-benar pergi. Menjauh dariku. Sangat jauh tanpa akan pernah kulihat lagi wajahmu yang lelap tertidur. 

Bukan main sakitnya. Membuat urat-uratku susah bergerak. Membuat dadaku setelahnya hampa tanpa isi. 

Hari-hariku ke depan pastilah akan dipenuhi masa lalu. Tentang kamu, hanya tentang kamu. Bahkan aku sama sekali tidak tahu, di masa depan itu, masih adakah yang perlu aku tuju? Tanpamu. Ya, karena tanpamu. 

Aku menutup kembali kain putih yang menjadi tanda perpisahan kita. Kain yang menutup wajahmu dari cinta yang menggebu-gebu begini. 

Kamu akhirnya pergi. Meski sejatinya, semua yang kita miliki memang akan pergi. Bahkan jika kelak diriku pergi dari hidupku sekalipun, aku tidak mungkin sanggup mencegahnya. Maka, aku tak perlu menangis kehilanganmu. Sebab bertahun-tahun lamanya, toh aku pun telah kehilangan diriku sendiri. Kehilangan kebebasanku. Kehilangan mimpi-mimpiku. 

Tapi ketika akhirnya kamu pergi, kebebasaan itu justru menguap bagai mimpi. Kamu  pergi dengan membawa segala-galanya dariku. Tanpa sisa. Hingga aku limbung berdiri. 


Comments

Popular posts from this blog

Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan

Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani.  Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga.  Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee.  Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur.  Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat.  Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya

Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?

Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja.  Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT.  Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya.  Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toil

Duh, Gendang Telinga Saya Pecah ...

Seminggu yang lalu, telinga kiri saya terbentur keras sekali. Rasanya memang tidak terlalu sakit, tapi sekian detik dari kejadian itu, dunia berubah jadi sunyi. Begitu aneh. Sebab rasanya seperti sedang berada di kampung sepi pada dini hari. Tanpa ada suara, hingga dengungan telinga jadi terdengar amat jelas. (Saya lantas ingat, kok pendengaran ini persis seperti adegan tuli sesaat di film 5CM ketika Pevita Pearce terjatuh-berguling dari lereng Mahameru. Ah, ada ada saja.) Kalau Pevita Pearce bisa seketika mendengar lagi, berbeda dengan saya. Di hari pertama kejadian, saya merasa sangat terganggu dengan kondisi pendengaran yang timpang begini. Membedakan suara mesin mobil dan motor saja tidak bisa. Itulah kenapa rasanya saya pengin sekali marah kalau ada bunyi-bunyian mesin. Saya frustasi. Telinga saya terasa penuh, dan membuat  suara apapun sulit dianalisis.  Lalu saya jadi ingat perkataan seorang teman yang bisa dikatakan sebagai aktivis pembela difabel, dia bilang "Terk