Skip to main content

Cerita di Balik Buku Ladies Journey


Gambar
Saat Ladies’ Journey terbit pada bulan Juni 2013, penerbit Stiletto Book baru mempunyai satu kumpulan cerpen fiksi. Hal ini bukan lantaran tak ada penulis yang mengirimkan naskahnya ke redaksi, justru editor sendiri merasa sayang sekali karena naskah yang masuk seleksi sebenarnya bagus-bagus, hanya saja banyak yang tidak masuk dalam kriteria Penerbit Stiletto Book.

Dalam pencariannya, lalu naskah Girl Talk datang bertamu. Kelahiran Girl Talk karya Lala Purnomo di keluarga besar Stiletto Book, kemudian menjadi kumpulan cerpen pertama yang namanya tercatat dalam sejarah perjalanan panjang penerbit ini. Apalagi respon pembacanya bagus, inilah yang kemudian mendorong tim redaksi untuk kembali menerbitkan genre serupa. (Kan tak ada salahnya juga menyenangkan pembaca? ) Maka tak lama kemudian, Ladies’ Journey lahir.

GambarLadies’ Journey merupakan buku kumpulan cerpen fiksi dengan tema perjalanan. Tema ini pertama kali dilontarkan oleh Herlina P. Dewi selaku PimRed Stiletto Book ke redaksi. Meskipun bukan tema baru, namun kami mencari cara untuk bagaimana mengemas tema lama menjadi menarik dan layak disuguhkan ke pembaca.

Ya, inilah yang menarik dari buku Ladies’ Journey : buku ini ditulis oleh 13 penulis perempuan, yang kesemuanya pernah bekerja sama dengan Stiletto Book dalam hal kepenulisan. Untuk memperkaya citarasa isinya, maka redaksi juga memilah siapa saja penulis yang dipilih menjadi kontributor. Tentu saja, hal ini penting sebab kami menginginkan gaya cerita yang bervariasi; ada cerpen sastra dan cerpen popular sekaligus.

Eva Sri Rahayu, salah satu kontributor Ladies’ Journey mengungkapkan sisi spesial dari buku ini. Katanya “Membaca Ladies’ Journey, pembaca akan diajak pergi ke tiga belas tujuan perjalanan, dengan tiga belas pengalaman yang berbeda”.

Selain itu, Ladies’ Journey juga bukanlah buku traveling yang semata-mata mengedepankan keindahan kota tujuan, tapi lebih kepada perjalanan hidup tokoh-tokohnya.

Sampai terbitnya buku ini, redaksi dan penulis telah berkali-kali melakukan kordinasi. Mulai dari pengumpulan ide cerita, eksekusi, deadline menulis, sampai pemilihan sampul buku.

Dan, rencananya buku antologi semacam Ladies’ Journey akan kembali diterbitkan dengan cara audisi seperti serial A Cup of Tea terbitan Stiletto Book.  Jika A Cup of Tea merupakan kumpulan kisah-kisah nyata inspiratif yang sukses sampai lima seri, maka yang akan digarap kemudian adalah kumpulan cerpen fiksi Stiletto Book.

Mudah-mudahan buku Ladies’ Journey mendapat cinta di hati kamu ya

*Review ini ditulis pada tahun 2013

Comments

Popular posts from this blog

Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan

Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani.  Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga.  Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee.  Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur.  Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat.  Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya

Garis Dua di Bulan April 2017

Empat tahun setengah, bukanlah waktu yang sebentar bagi kami yang kurang tabah ini menghadapi serangkaian pertanyaan tentang anak--mulai dari pertanyaan basa-basi, hingga sejumlah tuduhan menyakitkan yang kerap mampir membikin air mata tak tahan berderai-derai jatuh di sajadah.  Beruntungnya, suamiku tetap menggenggam tanganku erat, menguatkan di depan, meski aku tak tahu betul jika barangkali ia pun diam-diam memunggungiku untuk menahan tangis sendirian.  "Kita sudah berusaha, Dik, dengan sebaik-baiknya ..." bisiknya pelan, tiap kali aku mengadu.  Namun, saat hati terasa amat sakit mengingat tuduhan buruk yang bukan jadi kuasa kami, usai salat aku justru tak bisa berdoa. Aku menatap ke atas, diam, menangis pun tak sanggup. Lalu dengan pasrah, aku yang lemah hingga tak kuasa membungkam suara hati yang lepas begitu saja,  "Tuhan, tidakkah Kau melihat ini semua dari sana? Aku harus bagaimana?" Kan, yang tahu apa usaha kami hanya kami sendiri dan Tuhan

Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?

Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja.  Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT.  Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya.  Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toil