Skip to main content

Gadis Pantai Menusuk Feodalisme Jawa (Review)


NPA006-GADIS-PANTAI

Kita sama tau, bahwa sastra merupakan refleksi masyarakat. Ia lahir dan tak bisa lepas dari realita sosial di sekitarnya. Namun begitu, sastra tetaplah tidak bisa tercipta begitu saja. Ia butuh kreativitas, pergulatan antara realitas dan imajinasi pengarang.

Seperti halnya Gadis Pantai, roman yang ditulis Pramoedya Ananta Toer ini menggambarkan masyarakat Rembang, Jawa Tengah di abad 20. Bagaimana praktik feodalisme Jawa begitu hebat pengaruhnya. Masyarakat setempat berlomba-lomba menikahkan anak gadisnya dengan pembesar Jawa (Bendoro) untuk meningkatkan derajat keluarga.

Sekalipun fiktif, namun kisah dan tokoh-tokoh yang dibangun oleh Pram erat kaitannya dengan kenyataan pada masa itu. Bahkan, tokoh Gadis Pantai sendiri adalah sosok nyata dari nenek Pram, seperti yang ia tuturkan di kata pengantar.

Roman yang ditulis di Pulau Buru ini, sejatinya adalah buku pertama dari trilogi yang ditulis Pram. Namun, dua buku lanjutannya itu lebih dulu raib oleh keganasan penguasa orde baru karena konon isinya terlalu banyak mengkritisi pemerintah pada masa itu.

Gadis Pantai bercerita tentang perempuan kampung nelayan yang menjadi gundik Bendoro, seorang santri Jawa yang bekerja pada administrasi Belanda. Tentu ini bukan pilihannya sendiri, ia hanya dipaksa kawin di usia 14 tahun. Statusnya sebagai Bendoro Putri lalu mengangkat ia menjadi perempuan yang dihormati, meski itu tidak berlangsung lama. Ia tinggal di rumah besar berdinding batu. Rumah yang baginya seperti neraka dengan peraturan yang sangat tidak disukainya.

“Mengerikan bapak, mengerikan kehidupan priyayi ini…. Ah tidak, aku tak suka pada priyayi. Gedung-gedungnya yang berdinding batu itu neraka. Neraka. Neraka tanpa perasaan.” (hal 268)

Pram menggambarkan lemahnya posisi perempuan kelas bawah pada masa itu. Seorang perempuan miskin diambil jadi gundik, lalu dicerai dengan tanpa perasaan. Strata sosial menentukan sekali nasib mereka. Seorang lelaki seperti Bendoro boleh bersikap semena-mena bahkan tanpa moral sekalipun. Jika saja Gadis Pantai (tokoh utama) bukan lahir dari keluarga nelayan miskin, barangkali ia tidak akan begitu saja ditendang dari rumah suaminya setelah melahirkan anak.

Seorang perempuan seperti Gadis Pantai tak berhak atas anaknya sekalipun. Tak ada solusi atas pencekalan hak ibu terhadap anak dalam feodalisme Jawa pada masa itu. Menjadi seorang Bendoro Putri tak lantas membuat statusnya lebih tinggi dari posisi anaknya sendiri. Setelah dicerai, diusir secara keji, ia memilih pergi jauh-jauh. Gadis Pantai tak ingin anaknya malu jika tahu dari rahim perempuan kelas bawah inilah ia lahir.

Roman ini diceritakan dengan gaya bahasa yang lugas, sehingga siapapun akan dengan mudah menangkap maksud dari si penulis. Pram juga menggunakan PoV orang ketiga mahatahu, yang memungkinkan narator dapat bergerak bebas di dalamnya.

Namun, sayang sekali, roman yang syarat kritik dan banyak orang mengacungkan jempol ini harus menyisakan rasa penasaran setelah selesai dibaca. Ya, seperti dijelaskan di muka. Roman ini merupakan buku pertama dari trilogi yang dua buku lanjutannya dibakar oleh penguasa.

Daftar Pustaka: Toer, Pramoedya Ananta. 2006. Gadis Pantai. Jakarta: Lentera Dipantara

*Review ini saya tulis tahun 2013

Comments

Popular posts from this blog

Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan

Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani.  Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga.  Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee.  Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur.  Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat.  Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya

Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?

Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja.  Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT.  Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya.  Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toil

Duh, Gendang Telinga Saya Pecah ...

Seminggu yang lalu, telinga kiri saya terbentur keras sekali. Rasanya memang tidak terlalu sakit, tapi sekian detik dari kejadian itu, dunia berubah jadi sunyi. Begitu aneh. Sebab rasanya seperti sedang berada di kampung sepi pada dini hari. Tanpa ada suara, hingga dengungan telinga jadi terdengar amat jelas. (Saya lantas ingat, kok pendengaran ini persis seperti adegan tuli sesaat di film 5CM ketika Pevita Pearce terjatuh-berguling dari lereng Mahameru. Ah, ada ada saja.) Kalau Pevita Pearce bisa seketika mendengar lagi, berbeda dengan saya. Di hari pertama kejadian, saya merasa sangat terganggu dengan kondisi pendengaran yang timpang begini. Membedakan suara mesin mobil dan motor saja tidak bisa. Itulah kenapa rasanya saya pengin sekali marah kalau ada bunyi-bunyian mesin. Saya frustasi. Telinga saya terasa penuh, dan membuat  suara apapun sulit dianalisis.  Lalu saya jadi ingat perkataan seorang teman yang bisa dikatakan sebagai aktivis pembela difabel, dia bilang "Terk