Skip to main content

Mencintaimu dengan Segenap Bahasa: Sebuah Buku Souvenir


bukuku dan suami

Sekumpulan sajak ini merupakan rekam jejak kami dari tahun 2008 hingga 2012. Kami sengaja kumpulkan sajak-sajak yang telah menemui nasibnya di media atau terkurung sunyi komputer tua. Sajak-sajak pun kiranya perlu ikut merayakan kebahagiaan. Bersatu menjadi buku sederhana sebagai kado untuk tamu-tamu di hari pernikahan kami.

Dalam buku ini, terlihat masa produktif dari masing-masing mempelai dalam menulis puisi. Pemilihan puisi pun terasa tidak meyakinkan. Meski begitu, keyakinan cinta tak tergoyahkan hingga kini :)

Banyak hal yang tak mampu kami komunikasikan secara langsung, baik dengan bahasa verbal maupun fisik. Ketika tak mampu mendiskusikan apa yang kami pikirkan, entah karena waktu, perbedaan ideologi, maupun ketika ego masing-masing bermain, menulis menjadi jalan menyenangkan untuk bertutur. Dan puisi adalah salah satunya.

Perjalanan selama empat tahun itu, tentu tak selalu berjalan mulus. Pada setiap pergesekan, kami coba untuk tetap mawas diri agar tak pecah kapal yang kami tumpangi. Pergesekan itu tak hanya datang dari kami sendiri, melainkan juga wilayah organisasi, kesenian, kebudayaan, serta pekerjaan, melanggar wilayahnya dengan memasuki ranah cinta kami. Namun, Kami menyikapinya sebagai upaya pematangan cinta. Sebab itulah, sajak-sajak dalam kumpulan ini tak melulu persoalan cinta, meski dengan tegas judul yang dipilih sarat cinta dan momentum yang berlebihan cinta.

Dengan momentum ini, teruji kematangan cinta kami. Sebagaimana manusia dewasa, semakin dewasa maka semakin banyak pula ujian yang datang dan tanggung jawab semakin besar. Dan kami telah mempersiapkannya.

*Tentang Mempelai Laki-laki*

Tidak sesederhana yang diharapkan untuk bisa berkomunikasi dengan lelaki penyair ini. Perkara sepele akan membawa kami pada diskusi dan perdebatan kecil. Untuk itulah, menulis puisi menjadi alternatif dalam membahasakaan keinginan-keinginan.

Bagi saya, ia lelaki yang punya sikap paling jelas dalam menghadapi perdebatan di antara kami. Ia akan lantang bilang tidak untuk yang dilarangnya, dan begitu sebaliknya. Tidak menyenangkan bukan? Untuk itulah harus ada puisi. Menyikapi sikapnya dengan positif adalah solusi paling tepat bagi saya. Bukankah sangat beruntung memiliki lelaki 27 tahun ini, ia akan bilang benci dengan lugas dan mengatakan cinta dengan kesungguhannya yang tegas.

Tikah Kumala


*Tentang Mempelai Perempuan*

Perempuan penyair dan penyabar ini makin matang di usia 24. Ia akan jadi partner yang baik bagi saya. Meski lebih sering berselisihpaham, selama empat tahun bersama, selalu ada hal yang meneduhkan darinya dan membuat saya bertahan.

Fairuzul Mumtaz

Daftar Pustaka: Mumtaz, Fairuzul dan Tikah Kumala. 2012. Mencintaimu dengan Segenap Bahasa. Indie: Yogyakarta

*Tulisan ini dibuat pada tahun 2012

Comments

Popular posts from this blog

Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan

Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani.  Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga.  Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee.  Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur.  Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat.  Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya

Garis Dua di Bulan April 2017

Empat tahun setengah, bukanlah waktu yang sebentar bagi kami yang kurang tabah ini menghadapi serangkaian pertanyaan tentang anak--mulai dari pertanyaan basa-basi, hingga sejumlah tuduhan menyakitkan yang kerap mampir membikin air mata tak tahan berderai-derai jatuh di sajadah.  Beruntungnya, suamiku tetap menggenggam tanganku erat, menguatkan di depan, meski aku tak tahu betul jika barangkali ia pun diam-diam memunggungiku untuk menahan tangis sendirian.  "Kita sudah berusaha, Dik, dengan sebaik-baiknya ..." bisiknya pelan, tiap kali aku mengadu.  Namun, saat hati terasa amat sakit mengingat tuduhan buruk yang bukan jadi kuasa kami, usai salat aku justru tak bisa berdoa. Aku menatap ke atas, diam, menangis pun tak sanggup. Lalu dengan pasrah, aku yang lemah hingga tak kuasa membungkam suara hati yang lepas begitu saja,  "Tuhan, tidakkah Kau melihat ini semua dari sana? Aku harus bagaimana?" Kan, yang tahu apa usaha kami hanya kami sendiri dan Tuhan

Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?

Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja.  Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT.  Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya.  Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toil