Skip to main content

Hobi Bersihkan Telinga Ternyata Berbahaya

Duh, gendang telinga saya pecah. Itu diagnosa dokter THT yang memeriksa saya seminggu yang lalu. Tentu saja saya shock. Benarkah gendang telinga bisa robek hanya karena terbentur? Bagaimana kalau pendengaran saya nggak bisa kembali lagi? Ah, membayangkan itu saja rasanya menakutkan. 

"Nggak papa. Kalau pecah karena trauma biasanya bakal cepet nutup kembali. Paling seminggu atau dua minggu udah nutup. Asalkan selama itu nggak basah, pilek ataupun batuk, "kata dokter.  Meski khawatir, tapi saya yakin pasti bakalan sembuh. 

Demi mengantar saya periksa ke THT, ternyata suami juga kepikiran untuk memeriksakan telinganya yang kerap gatal dan kurang berfungsi. Ih, rasanya aneh tahu. Sepasang suami istri kok konsultasi ke dokter dengan keluhan yang sama. Cie kompakan banget ceritanya. Bikin geli perut aja deh. 

Tapi, sebenarnya suami sudah sejak lama sih ingin periksa, tapi justru kesampaian ketika saya sakit (wuiih, hikmah di balik rasa sakit nih). Saat diperiksa, suami diminta menutup hidung dan mulut, kemudian bernapas. "Ada angin yang keluar dari telinga nggak?" tanya dokter. Suami saya mengangguk, "Dua-duanya atau satu telinga aja?". 

"Dua-duanya Dok. "

Mendengar jawaban suami, si dokter mengambil alat yang sama dengan yang dipakai untuk memeriksa saya. "Sini dilihat"

Sambil melihat ke dalam telinga suami, si dokter bergumam "Wah, udah parah Mas... dua-duanya sudah bolong je"

Kemudian suami saya pun bercerita bahwa dia hobi banget membersihkan telinganya. Sejak kecil sampai sekarang, setiap hari dia merasa harus melakukan itu. Padahal tidak ada kotoran, tapi rasa gatal dan kebiasaan membuatnya tidak bisa lepas dari namanya cotton bud. Saya suka ngasih tahu kalau itu berlebihan, tapi apalah dia mau mendengar sebuah nasihat? Apalagi kebiasaan itu memang nikmat sekali bukan? 

Setelah mendengar cerita suami, dokter menyarankan untuk berhenti dari hobi membersihkan telinga. Pasalnya, dari kebiasaan itulah kedua gendang telinga suami saya robek. Bukan robek yang bisa kembali menutup, tapi kata dokter, ini sudah tidak mungkin untuk sembuh. Sudah terlalu lama kejadiannya. Lagi pula, robeknya juga sudah terbilang lebar. "Jangan sampai kemasukan air ya" saran dokter. Kagetlah kami. Lah dari kecil kan suami suka berenang di laut. Bahkan sampai sekarang kami sering berenang bersama di kolam renang. "Haduh, jangan sampai kemasukan air. Bahaya itu" hah separah itukah? 

Dokter memang tidak menjelaskan apa akibat buruknya dari telinga bolong yang kemasukan air. Tapi membayangkan bahwa itu berbahaya, kami jadi merinding. Dari obrolan panjang dengan dokter, ada poin-poin yang saya garisbawahi bahwa

  1. Di dalam telinga itu terdapat banyak sekali saraf kecil-kecil yang bisa saja rusak akibat kita terlalu sering membersihkan telinga. 
  2. Membersihkan telinga ternyata dapat menjadi penyebab seseorang terserang vertigo. Ketika saya bertanya apa hubungannya telinga dengan vertigo, dokter hanya menjelaskan bahwa ada saraf yang jika tersentuh cotton bud bisa memicu vertigo. Setelah saya browsing di internet, ternyata salah satu penyebab vertigo memang rusaknya saraf pusat. 
  3. Seperti kasus suami saya, bahwa hobi membersihkan telinga ternyata dapat membuat gendang telinganya robek. Mungkin sekali dua kali tidak apa-apa kali ya, tapi jika menjadi hobi, maka bagaimana gendang telinga menyembuhkan diri kalau lagi sobek, malah diobok-obok terus. Saya sih jadi ngeri pakai cotton bud. Seenggaknya kalau harus pakai lagi, saya akan sangat berhati-hati dan pelan. 
  4. Saya baru tahu kalau gendang telinga sobek bisa sembuh kembali. Penyebab sobek yang akan mudah sembuh adalah kalau disebabkan oleh tekanan udara (seperti kena bola, terbentur, dipukul atau ditampar). Sedangkan kalau infeksi, kemungkinan untuk sembuhnya akan lama. 
  5. Gendang telinga yang sobek ternyata berbahaya jika terkena air. Katanya bisa susah nutup dan lain-lain. 

Setelah panjang lebar berkonsultasi, dokter menyarankan suami saya untuk tindakan lebih lanjut. Kata dokter, ada kemungkinan kalau suami harus operasi. "Soalnya udah parah, tidak bisa ditangani dengan cara sederhana" mendengar itu, jantung kami berdebar-debar. Kok jadi serius sih periksanya suami. Padahal niatnya cuma ngobati saya. Hiks. 

Karena kami sadar bahwa selama ini sudah menzolimi anggota tubuh, maka apapun saran dokter siap dilaksanakan. Suami dirujuk ke RS Pusat Jogja untuk audiometri (pemeriksaan untuk menentukan jenis dan derajat ketulian, serta melihat ada tidaknya saraf yang rusak). Sebelum ke RS Pusat, telinga suami dironsen terlebih dahulu dan diberi obat Rhenofed supaya telinganya kering. 

Kata dokter, untuk melakukan audiometri, telinga harus kering.
"Kemungkinan di RS Pusat bakalan antre lama, jadi datang lebih pagi aja. Jangan lupa bawa makan, dan minum biar tetep konsentrasi. Usahakan ada yang antar ya pas periksa." 

Kami pun undur diri dengan dada yang berat. Dengan penjelasan dokter tentang kasusnya suami, mata kami jadi terbuka. Mungkin inilah berkah dibalik sakit telinga saya. Kami jadi tahu banyak hal berbahaya justru disebabkan oleh sesuatu yang sepele. Ah, saya jadi tidak berani manja dan mengeluhkan sakit telinga saya yang belum seberapa dibanding punya suami. (Bagaimana cerita tentang gendang telinga saya yang pecah, bisa temen-temen baca di sini_klik)

Oh iya, untuk cerita bagaimana dokter-dokter RS Pusat menangani suami saya selanjutnya, bisa dibaca di sini. Biar nggak kepanjangan. Intinya, ehmm hasil dari RS Pusat juga tidak begitu menyenangkan sih. Ya ampun! Ini awalnya cuma hobi membersihkan telinga loh. Nyesel kan kalau nggak tahu kalau itu ternyata berbahaya. 

Comments

  1. Duh mak kok serem ya efeknya korek2 kuping, jadi inget adek sm sepupu2ku pada ketergantungan cotton bud. Kalo cotton bud abis katanya kuping gatel, bikin gemes pengen korek2, teriak2 nyariin cotton bud kayak orang sakaw. Sepupuku malah saking hobinya, sering banget kapas cotton budnya ketinggalan di dalem kuping :((

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya Mak. Saya sih udah lama tahu kalau nggak baik. Tapi baru tahu, sebab kenapa dikatain nggak baiknya. Ternyata akibatnya bakal banyak ya. Hiks.

      Delete
  2. adikku skr ini sdg ambil spesialis THT mba.. dr dia aku bnyk tau ttg hal2 bgini... Abis gimana ya kalo mw bersihin telinga paling mudah ya pake cotton bud.. Tapi krn adikku sdg ambil THT skr ini, enaknya tiap kali mw bersihin telinga aku minta ke dia :D Apalagi alat2nya lumayan lengkap ...Abisnya kalo k THT mnta bersihin teling mahaal :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah seneng ya Mbak punya saudara calon tenaga medis. Meskipun nggak selalu butuh diperiksa, tapi seenggaknya bisa kecipratan ilmu. Justru ilmu itulah yang lebih penting untuk upaya pencegahan,

      Delete
  3. Duuh serem ya maak. Aku pernah denger sih kalo bersihin telinga jangan sampai masuk ke dalam, di bagian permukaannya aja. Jadi sekarang aku kalo bersihin telinga ya kaaya gitu

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya Mak, katanya lebih aman itu dikasih baby oil dulu dan mbersihinnya dengan gaya 'mlipir' di dinding2 telinga aja. Tapi itu juga belum tentu aman jg sih cuma kata katanya hehehe. Dan katanya lagi, 6 bulan sekali idealnya ke THT buat sedot kotoran. Kali dengan sedot itu kita jane nggak usah korek korek kuping lagi.

      Delete
  4. Ibu saya meninggal krn kanker telinga. Penyebabnya infeksi krn sering bersihin telinga jg

    ReplyDelete
    Replies
    1. Innanillahi. Turut berduka ya Mak. Ternyata serem juga ya bisa sampai ke penyakit kangker.

      Delete
  5. Tikah, share d fb bisa nda mau share ke suami. Nuhun

    ReplyDelete
    Replies
    1. Udah aku share Hapsoh. Scrooling deh di wall FB-ku. :)

      Delete
  6. ngeri yah mbak, aku suka lho padahal pake cotton bud
    ciri-ciri kerusakan tlinganya gmna tuh??

    ReplyDelete
    Replies
    1. Suami emang sejak kecil pendengarannya berkurang Mas. Pernah keluar cairan juga. Tapi sejak tahun 2003 sampai 2015 ini nggak aktif lagi. Jadi ya cuma masalah pendengaran aja. Nah, sedangkan pasien pasien lain, mereka cenderung pergi ke dokter karena udah parah seperti tiba-tiba perot atau sakit. Suami alhamdulillah nggak.

      Delete

Post a Comment

Komentar dengan menyertakan link hidup akan saya hapus. Maaf ya....

Popular posts from this blog

Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan

Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani.  Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga.  Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee.  Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur.  Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat.  Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya

Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?

Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja.  Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT.  Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya.  Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toil

Duh, Gendang Telinga Saya Pecah ...

Seminggu yang lalu, telinga kiri saya terbentur keras sekali. Rasanya memang tidak terlalu sakit, tapi sekian detik dari kejadian itu, dunia berubah jadi sunyi. Begitu aneh. Sebab rasanya seperti sedang berada di kampung sepi pada dini hari. Tanpa ada suara, hingga dengungan telinga jadi terdengar amat jelas. (Saya lantas ingat, kok pendengaran ini persis seperti adegan tuli sesaat di film 5CM ketika Pevita Pearce terjatuh-berguling dari lereng Mahameru. Ah, ada ada saja.) Kalau Pevita Pearce bisa seketika mendengar lagi, berbeda dengan saya. Di hari pertama kejadian, saya merasa sangat terganggu dengan kondisi pendengaran yang timpang begini. Membedakan suara mesin mobil dan motor saja tidak bisa. Itulah kenapa rasanya saya pengin sekali marah kalau ada bunyi-bunyian mesin. Saya frustasi. Telinga saya terasa penuh, dan membuat  suara apapun sulit dianalisis.  Lalu saya jadi ingat perkataan seorang teman yang bisa dikatakan sebagai aktivis pembela difabel, dia bilang "Terk