Skip to main content

Dunia Trisa: Buku Harian Seorang Pemimpi (Review)


318431_187327951343533_1261712807_n

Mimpi seperti halnya kapal, di balik kemudinya kita harus siap mengatur arah. Manakala kita berhasil menjadi pengemudi yang baik, maka sampailah kita pada apa yang dicita-citakan. Namun, sebagai pelaut mungkin kita akan temui ombak besar menggulung. Badai datang tiba-tiba. Siapkah kita?

Seperti halnya Trisa—dalam chicklit Dunia Trisa—yang terobsesi menjadi aktris terkenal, lalu menyeretnya pada serangkaian masalah yang rumit. Masalah pekerjaan, percintaan sampai pada masalah akademik yang membuatnya kalang kabut.

Belum lagi status DO dari kampusnya yang juga menjadi salah satu masalah serius yang membuatnya harus berhadapan dengan dua pilihan yang serba sulit. Tapi begitulah Trisa, ia tak pernah putus asa untuk bangkit. Selalu bangun kembali dari segala keterpurukan, bahkan ketika kariernya hancur, ia rela memulai lagi segala usahanya dari nol.

Secara keseluruhan, cerita yang disuguhkan Eva seperti membawa kita pada pemikiran, bahwa ada banyak pilihan dalam hidup ini selain sekadar untuk menikah. Kenapa harus buru-buru menikah dan meninggalkan segala mimpi kita? Toh hidup kita akan baik-baik saja tanpa ikatan semacam itu. Mungkin seperti itulah pesan yang dibawa tokoh Trisa dalam novel bergenre chicklit tersebut.

Atau jangan-jangan keputusan tokoh Trisa untuk tidak menikah sebenarnya merupakan akibat dari rangkaian trauma yang dialaminya? Bagaimana bisa Trisa ingin menikah, setelah kepercayaannya terhadap kata tersebut diciderai oleh nasib tragis tokoh Rhein—sahabatnya yang hamil di luar nikah dengan lelaki beristri. Lalu apakah tokoh Trisa tetap berkeinginan menikah, ketika tokoh Bian—lelaki yang disukainya dan hampir berhasil merayunya di hotel itu—tak lain merupakan lelaki hidung belang yang telah meminang rivalnya sendiri? Kemudian hadir tokoh Adam, lelaki yang mencintainya namun masih terlibat perasaan dengan Erin—sutradara yang telah mengangkat kariernya. Entah kenapa, penulis di sini selalu menghadirkan tokoh-tokoh lelaki yang kesemuanya berkecenderungan membuat Trisa berpandangan negatif terhadap laki-laki.  Tapi di situlah pointnya  kenapa novel ini begitu menarik untuk dinikmati. Penyelesaian konflik yang manis sekaligus menyentuh sangat terasa dalam setiap kisahnya.

Sebagai produk budaya yang lahir di zaman kapitalisme, chicklit membawa warna baru dalam dunia kesusastraan Indonesia. Pilihan bahasa yang sederhana dan ngepop, menjadi karakter dalam setiap chicklit yang ada. Hal ini dapat dimengerti, karena konsumen novel genre ini biasanya berasal dari kalangan muda perkotaan.

Demikian pula dengan Dunia Trisa, membaca novel genre chicklit ini pembaca dibuat tidak dapat berhenti sampai habis di halaman terakhir. Ide cerita yang sederhana namun dikemas dalam tulisan yang sangat menghibur. Tidak heran kalau pada akhirnya chicklit seringkali dikatakan sebagai karya sastra yang bertendensi untuk dikonsumsi oleh perempuan-perempuan di waktu senggangnya.

Tema yang diangkat dalam novel chicklit berjudul Dunia Trisa ini juga tidak jauh-jauh dari kehidupan si penulis. Eva yang notabene pernah menjadi penulis skenario film pendek kemudian menciptakan Dunia Trisa—dunia aktris lajang dengan segala tethek-bengek dunia perfilman.

Berangkat dari latar belakang kehidupan si penulis tersebut, barangkali inilah yang kemudian menjadikan Eva berhasil membangun soul pembaca untuk masuk ke dalam alur dan latar cerita secara detail. Sehingga dengan membaca Dunia Trisa, kita seperti berada langsung di dunia tokoh Trisa, dunia yang menyuguhkan sisi kehidupan aktris lajang di dunia perfilman. Selain itu novel ini juga sangat cocok dibaca perempuan-perempuan yang sedang gigih mengejar mimpinya. Novel chicklit yang sangat inspiratif dan menghibur.

Untuk menikmati novel yang renyah begini, saya sampai bisa men-skip dulu soal typo.

Daftar pustaka: Rahayu, Eva Sri. 2011. Dunia Trisa. Yogyakarta: Stiletto Book

*Review ini saya tulis pada tahun 2012

Comments

Popular posts from this blog

Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan

Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani.  Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga.  Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee.  Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur.  Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat.  Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya

Garis Dua di Bulan April 2017

Empat tahun setengah, bukanlah waktu yang sebentar bagi kami yang kurang tabah ini menghadapi serangkaian pertanyaan tentang anak--mulai dari pertanyaan basa-basi, hingga sejumlah tuduhan menyakitkan yang kerap mampir membikin air mata tak tahan berderai-derai jatuh di sajadah.  Beruntungnya, suamiku tetap menggenggam tanganku erat, menguatkan di depan, meski aku tak tahu betul jika barangkali ia pun diam-diam memunggungiku untuk menahan tangis sendirian.  "Kita sudah berusaha, Dik, dengan sebaik-baiknya ..." bisiknya pelan, tiap kali aku mengadu.  Namun, saat hati terasa amat sakit mengingat tuduhan buruk yang bukan jadi kuasa kami, usai salat aku justru tak bisa berdoa. Aku menatap ke atas, diam, menangis pun tak sanggup. Lalu dengan pasrah, aku yang lemah hingga tak kuasa membungkam suara hati yang lepas begitu saja,  "Tuhan, tidakkah Kau melihat ini semua dari sana? Aku harus bagaimana?" Kan, yang tahu apa usaha kami hanya kami sendiri dan Tuhan

Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?

Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja.  Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT.  Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya.  Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toil