Skip to main content

Maaf Jika Saya Harus Bersandar Padamu, Ibu.

Tangan saya mendadak dingin dan detak jantung memburu ketika ada panggilan dari nomor yang tertulis "Calon Ibu Mertua". Wah ada apa ya? Harus ngomong apa nih? 

Duh, perasaan malah deg-degan banget. Padahal, beberapa hari lagi, beliau toh akan resmi jadi ibu saya. Ibu, karena saya dinikahi oleh anaknya. Tapi sumpah, saya grogi. Soalnya, selama pacaran dengan anaknya, saya berani telepon juga kalau pas Lebaran doang. 

Akhirnya, setelah beberapa detik memandangi layar handphone yang kedap kedip, saya memutuskan untuk memencet tombol 'yes'. "Hallo? Nggih Bu, pripun? (Hallo? Ya Bu, bagaimana?)" jawab saya. 
"Gimana persiapan di situ, Nduk? bla bla bla" 
Calon ibu mertua saya ini memang lebih sering telepon untuk mengecek kesiapan pernikahan saya dengan anaknya. Atau? Bisa jadi bukan itu yang utama. Tapi, lewat telepon itulah, barangkali saja sebenarnya beliau ingin membuat hubungan kami menjadi lebih akrab. Sedangkan saya? Ah, ditelepon aja deg-degan, bagaimana mungkin berani memulai obrolan. 

"Mbok sering telepon to Nduk. Aku kan yo ibumu, dan kamu bakalan jadi anakku" Nyesss, ya ampun Ibu. 

Terharu rasanya mendengar kalimat yang diucapkan dengan bahasa Jawa tersebut. Sebagai pihak yang lebih muda, sayalah yang seharusnya mengakrabi orangtua. Bukan sebaliknya begini. Duh, rasa bersalah tiba-tiba memberati dada. Mungkinkah sebenarnya Ibu tahu kalau saya merasa canggung? Ya, pastilah Ibu pernah berada di posisi saya sehingga beliau mencoba lebih memahami. Ah, Ibu, betapa pengertiannya engkau sebagai orangtua. 

Setelah saya resmi jadi menantunya, saya merasa benar-benar beruntung. Perlakuan Ibu kepada saya jauh dari bayangan buruk tentang sosok mertua yang menakutkan. Bahkan, setiap saya dan suami mudik ke rumah, beliau akan menciumi wajah saya seperti memperlakukan anaknya sendiri. 

Seperti yang saya duga, Ibu begitu pengertian untuk memaklumi segala kekurangan saya. Beliau sangat memaklumi ketidakpandaian saya memasak dengan meminta saya hanya mengiris bawang dan cabe saat bersama di dapur. Beliau memaklumi kekurangan saya dalam bab agama dengan menuntun ini dan itu. Beliau bisa maklum ketika attitude saya jauh dari tradisi keluarganya dengan terang-terangan menegur secara halus. Beliau sangat mengerti, kalau kami berbeda budaya sehingga banyak hal yang tidak pas menjadi sesuatu yang butuh dimaklumi. Ibu benar-benar perempuan yang luar biasa. 

Dalam keluarga, Ibu laksana patih sebuah kerajaan yang menjadi perantara kami anak-anaknya dengan Bapak sebagai raja.

Meski Bapak sulit kami sentuh, tapi apapun suara kami bisa sampai kepada Bapak berkat Ibu. Yah, seburuk apapun suara kami, tapi berkat sentuhan Ibu semuanya bisa menjadi lebih halus untuk diterima oleh Bapak. Ibu benar-benar memahami apa yang tidak harus disampaikan ke Bapak, dan apa yang kami butuhkan. Itulah kenapa beliau selalu menjadi perlindungan utama kami dari segala macam ancaman, termasuk amuk amarah Bapak. 

Ah Ibu, betapa luas samudra hatimu untuk menampung banyak rahasia yang tidak bisa kau sampaikan kepada Bapak, suamimu sendiri? Mungkinkah ya Ibu, jika setiap istri memang ditakdirkan untuk memiliki lautan yang luas, yang sekalipun satu laki-laki berlayar di dalamnya, itu tidaklah cukup untuk mampu membongkar rahasia-rahasia kita? Pernahkah lautmu itu luap Ibu, hingga dadamu terasa sesak? Pernahkah Ibu, pernahkah?


Rasanya nelangsa mengingat begitu banyaknya yang Ibu tanggung, akibat kerasnya kami dan juga adik-adik. Pastilah tidak mudah menjadi penengah ketika anak-anaknya salah dan Bapak marah besar. 

Diam-diam, saya suka menangis membayangkan betapa sikap kami yang buruk seringkali menjadi beban pikirannya yang berat. Kenapa terkadang saya dan anak-anaknya tidak banyak memikirkan bahwa bisa saja Ibu kesakitan, Ibu menangis sendiri, Ibu merasa putus asa dan Ibu merasa lelah ketika disalahkan Bapak karena mendidik kami kurang baik yang sebenarnya kenakalan ini sama sekali bukan salah Ibu.

Menyadari bahwa semua itu sangat berat, maka saya sama sekali tidak berani menawarkan diri untuk menjadi sandaran keluh kesahnya. 

Seperti juga kepada Mama, setiap Ibu telepon, saya selalu cerita yang baik-baik: kami sehat, rezeki lancar, tidak mengalami kesusahan, bahagia dan kabar-kabar baik lainnya. Bukankah hanya itu yang bisa saya lakukan untuk tidak menambahi lagi beban pikirannya? (Jika belum sanggup membantu menanggung, maka saya pikir, cara terbaik hanyalah tidak menambah makin berat.) Tidakkah sangat jahat, jika kemudian saya mengeluh segala macam kesusahan yang pasti akan lebih membuat Ibu bersedih?

Namun, sekalipun demikian, sekalipun berbusa-busa saya kabarkan berita baik, saya yakin mata hati seorang Ibu tetaplah tidak bisa dibohongi. Seorang Ibu tidak akan mungkin mampu untuk tidak mengkhawatirkan anaknya. Maka dengan cara yang halus itu, Ibu memancing saya untuk cerita, dan berusaha untuk memberikan solusi. 

Saat itu, dengan berbinar-binar Ibu menceritakan tentang prestasi adik bungsu di sekolah, adik satunya lagi yang sudah tidak begitu boros, dan adik satunya lagi yang mulai luluh dari keras hatinya. Ah, senang rasanya mendengar semua itu, sampai kemudian Ibu bertanya:
"Tesis bojomu piye Nduk?" Deg!

Saya harus jawab apa? Jujur, akan membuat Ibu sedih dan berbohong akan membuat solusi semakin jauh untuk diraih. 

Selama ini, suami memang tidak suka diingatkan soal kuliah, tidak suka diperintah, bahkan ditanya tentang tesis pun tidak suka. Sedangkan Ibu terus dituntut Bapak dengan pertanyaan mengenai kelulusan suami saya: Kapan? Biaya sudah banyak nggak lulus-lulus. Kapan? Masa S2 bisa bertahun-tahun lamanya? Kapan lulus dan bisa membanggakan orangtua. 

Huffft. Ketika Ibu telepon saya untuk mengingatkan suami mengenai studinya, saya suka terbayang-bayang kalau saat itu, Ibu pasti sedang tertekan dengan pertanyaan Bapak. Itulah kenapa saya sangat memaklumi kalau beliau bertanya dengan nada sinis, marah, atau sampai menangis. Ingin rasanya saya pulang ke kampung saat itu juga untuk memeluk dan menguatkan beliau sambil berkata : Ibu, saya tahu bagaimana perasaanmu.

Ya, saya tahu betul. 
Karena dalam banyak hal, suami saya mirip sekali dengan Bapak. Sehingga saya juga yakin, kalau Ibu-lah satu-satunya orang yang sangat memahami bagaimana posisi saya. 

Oleh karena itu, dengan putus asa, akhirnya saya cerita mengenai tesis anaknya yang hampir tidak pernah disentuh. Dari obrolan tersebut, terciptalah sebuah skenario. 

Kami semua tahu bahwa Bapak dan suami saya memiliki karakter yang hanya mau mendengarkan nasihat orang yang dihormatinya saja. Dengan demikian, saya meminta Ibu, sosok kedua yang paling disegani suami, untuk menekan anaknya mengerjakan tesis. Info sekecil apapun tentang studinya saya ceritakan kepada Ibu. 

Hasilnya? 
Masya Allah kerennya ibu mertua saya ini. 

Beliau sungguh terbuka untuk bekerja sama dengan saya. Beliau bener-bener bisa diandalkan dan tahu bagaimana menempatkan diri sehingga tidak terjadi adu domba. 

Ya, meski saya selalu mengadukan setiap informasi tentang studi suami, tapi di depan suami, Ibu selalu mengesani bahwa saya tidak ada di balik itu semua. Padahal saya tidak pernah memohon untuk dilindungi. Tapi syukurlah, berkat kebaikan Ibu, rahasia saya aman. Sebab, saya sebenarnya juga takut setengah mati kalau suami tahu bahwa nasihat-nasihat Ibu terlahir akibat informasi yang saya berikan. Kalau sampai terbongkar, suami pasti marah besar, sekalipun itu demi kebaikannya sendiri. 

Sampai akhirnya suami saya lulus ujian tesis pada Ramadhan kemarin, beliau baru membuka skenario kami dengan wajah berseri-seri. Ya, Allah. Terima kasih telah menghadirkan sosok ibu mertua yang baik begini. 
Saya sangat beruntung. 
Bahkan sampai sekarang, hampir setiap minggu, beliau menelepon saya untuk menanyakan kabar. Saya? Ya, saya. Menelepon saya. 
Beliau memang lebih intens menelepon saya ketimbang putranya sendiri. Barangkali karena kami sama-sama perempuan? Ya, anggaplah begitu. 

Baru beberapa hari lalu, saya SMS Ibu untuk sebuah misi yang sudah tidak bisa saya atasi sendiri. Saya membutuhkan Ibu untuk bersandar. Yes ibu mertua saya. Insya Allah, misi selanjutnya juga akan happy ending kerana dikerjakan dengan kekuatan doa seorang Ibu. 

Love you, Bu. 
Terima kasih telah menjadi ibu terbaik bagi saya, setelah Mama. 


*Tulisan ini saya buat untuk memeriahkan event #K3BKartinian yang diposting serentak untuk menyambut Hari Kartini 21 April 2015


Comments

  1. keren mak
    asyiknyaaa bisa ngeluh,.terbuka dengan bebas...
    sedep mak hehey
    salam knal yach
    @guru5seni8
    www.kartunet.or.id

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya Mak, bersyukur sekali saya. Makasih ya sudah mampir. Salam kenal kembali.

      Delete
  2. Terharu bacanya. Selamat hari Kartini mak..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih Ibu sudah berkenan baca. Kalau nulis tentang orangtua, memang susah ya kalau nggak minor. Hiks. Selamat hari Kartini juga

      Delete
  3. Bahagia rasanya ya punya ibu mertua yang mendukung, apalagi kalau punya bapak mertua yang susah disentuh :)
    Semoga ibu mertua selalu sehat ya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, saya bersyukur sekali punya Ibu mertua seperti beliau. Sebenarnya Bapak mertua juga baik, cuma beliau hanya kaku untuk menyampaikan langsung apa-apa perhatiannya. Pasti lewat perantara Ibu. Jadinya kami segan.

      Delete
  4. Perhatian sekali ibu mertuanya Mak. Pasti seneng dan bangga ya punya ibu mertua super sprti itu :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iyaaa Mak, alhamdulillah sekali. Bisa jadi panutan :)

      Delete
  5. huhu...terharu bacanya, penuh dinamika hubungan dengan mertua ya mak.... kadang juga panas dingin, eh dulu saya suka jngkel dalam hati loh kalo suami di tegur...hahah, padahal kan anaknya sendiri ya...

    ReplyDelete
  6. Indah sekali ceritanya mak....Terimakasih partisipasinya ya

    ReplyDelete

Post a Comment

Komentar dengan menyertakan link hidup akan saya hapus. Maaf ya....

Popular posts from this blog

Jangan Berharap Lebih di Malam Kami Makan

Makan malam berdua terasa seperti istilah asing; yang butuh dipahami, meski berat dijalani.  Tapi, akhirnya kesempatan itu datang juga.  Malam ini suami pulang lebih awal. Aku pikir, m akan malam berdua di saat anak tidur, mungkin bisa kayak pacaran lagi? Ciyeee ciyee.  Tapi tunggu dulu! Aku buru-buru membuka kulkas. "Lah kok cuma ada telur dan tempe?" keluhku yang bagai perempuan tak tahu bersyukur.  Hufttt. Mau bagaimana lagi? Pupuslah harapan untuk bisa menyuguhkan masakan yang aneh-aneh tapi instagramable. Aku kan anaknya suka pameran. Maka, demi menolong egoku yang kadung menanjak, kupinjam semangat menu gizi seimbang, di mana tempe goreng jadi protein nabati, telur dadar sebagai protein hewani, kremesan, sambel terasi, lalapan timun dianggap sayur mayur yang hijau royo-royo, dan tentu saja, karbohidratnya tetep nasi. Nggak cucok kalau diganti roti, apalagi ubi ungu. Meski keduanya termasuk karbohidrat.  Sebelum mulai dinner berdua (ceileh bahasanya

Garis Dua di Bulan April 2017

Empat tahun setengah, bukanlah waktu yang sebentar bagi kami yang kurang tabah ini menghadapi serangkaian pertanyaan tentang anak--mulai dari pertanyaan basa-basi, hingga sejumlah tuduhan menyakitkan yang kerap mampir membikin air mata tak tahan berderai-derai jatuh di sajadah.  Beruntungnya, suamiku tetap menggenggam tanganku erat, menguatkan di depan, meski aku tak tahu betul jika barangkali ia pun diam-diam memunggungiku untuk menahan tangis sendirian.  "Kita sudah berusaha, Dik, dengan sebaik-baiknya ..." bisiknya pelan, tiap kali aku mengadu.  Namun, saat hati terasa amat sakit mengingat tuduhan buruk yang bukan jadi kuasa kami, usai salat aku justru tak bisa berdoa. Aku menatap ke atas, diam, menangis pun tak sanggup. Lalu dengan pasrah, aku yang lemah hingga tak kuasa membungkam suara hati yang lepas begitu saja,  "Tuhan, tidakkah Kau melihat ini semua dari sana? Aku harus bagaimana?" Kan, yang tahu apa usaha kami hanya kami sendiri dan Tuhan

Harus Ya, Dok, Njelasinnya Serem Gitu?

Awal bulan April 2015, saya dan suami melangkah penuh harap menuju gedung RS pusat Jogja.  Dalam tas sudah saya siapkan biskuit dan air putih untuk cadangan kalau benar antrenya bakal panjang. Sebenarnya, ide berbekal ini adalah saran dokter DP dari RS awal biar kami tetep konsentrasi. Waktu itu, setelah urusan isi mengisi formulir di bagian pendaftaran selesai, sampailah kami di lokasi tujuan : Poli THT.  Saya menyuruh suami duduk di kursi tunggu pasien dan meminta dia mendengarkan kalau-kalau namanya dipanggil. "Ade mau ke toilet dulu." Kata saya.  Ya, ampun. Padahal gedungnya bagus, tapi toiletnya (bagi saya) bener-bener nggak layak jadi cermin RS pusat. Udah lantainya kotor, tisu habis, dan kloset duduknya juga licin kayak nggak pernah dibersihkan. Bayangin coba, di rumah sakit kan tempatnya orang sakit. Gimana ya kalau toilet macam itu malah jadi media penularan penyakit dari pantat satu ke pantat lainnya. Hih, kalau nggak kepaksa banget pasti saya ogah pakai toil